Catatan Rumah Kepemimpinan 14 : Membentuk Keluarga Penuh Cinta Kasih
Selamat siang,
Pembaca!
Kali ini
aku menulis bukan di Coklat Klasik, tetapi di perpustakaan FIB tercinta. Kalian
perlu tahu, sebetulnya perpus FIB adalah tempat yang paling nyaman untuk
menulis dan membaca. Tapi, sayangnya satu. Tidak boleh membawa makanan atau
minuman ke dalam ruangan. Kalau saja boleh, wah, klop sudah. Aku tidak akan
kenal dengan Coklat Klasik mungkin. Hehe. Kali ini, aku akan menceritakan
tentang apa yang baru saja terjadi kemarin. Tentang sebuah perjalanan hati
(kata mas Hamdan).
Jadi,
agenda peserta Rumah Kepemimpinan Regional 3 Yogyakarta kemarin adalah rihlah. Pada
jadwal bulan Januari, yang tertulis memang rihlah istimewa. Menurut kabar yang
tersebar pun rihlah ini juga akan diadakan secara bersamaan baik nakula maupun
srikandi. Mau tidak mau kami penasaran juga, hendak kemana ya?
Sampai akhirnya
tibalah hari itu. Kami berangkat bersama-sama menuju sebuah tempat yang mungkin
sedikit asing bagi kami. Ya, Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unitabiyoso.
Mungkin ada yang bertanya tempat apa ini? Ya, awalnya aku juga tidak tahu. Lalu
kata Mas Hamdan, “Bahasa umumnya, panti jompo.” Ah.. I see.
Sesampainya
di sana, kami segera masuk ke dalam aula dan diberikan sedikit arahan oleh
petugas setempat. Kami dibagi menjadi 12 kelompok, karena memang ada 12 wisma
di situ. Aku satu kelompok dengan anak kamarku sendiri, Nur Awwalia Maulida. Kami
berdua mendapat jatah wisma nomor 10, yakni Wisma Sapto Pratolo. Setelah pengarahan
selesai, kami segera menuju wisma masing-masing. Awwal dan aku segera mencari Wisma
sapto Pratolo. Rupanya, wisma tersebut ada di bagian paling depan. Setelah clingak-clinguk, kami perlahan masuk. Ternyata, ada beberapa petugas yang
menjaga di dalam. Mereka kemudian mempersilakan kami untuk masuk. Ah iya, di
bangku bagian depan, ada seorang lansia yang sedang duduk-duduk. Mungkin istirahat
sehabis senam (sewaktu kami datang para lansia sedang bersiap melaksanakan
senam). Kemudian kami bertanya (dengan Bahasa Jawa tentunya) apakah kami boleh
berbincang sejenak, dan beliau mengiyakan.
Perjalanan hati
hari ini, dimulai di sini. Nama lansia yang pertama kami wawancarai adalah Eyang
Wardoyo. Beliau berumur 79 tahun dan merupakan yang termuda di wisma tersebut. Beliau
juga baru dua bulan tinggal di panti ini. Sebelumnya, beliau pernah tinggal di
salah satu panti di daerah Salatiga. Beliau asli Jogja dan dulunya adalah seorang
dosen Ekonomi Universitas Sanatha Dharma. Kami banyak mengobrol dengan beliau. Dari
cara bicaranya saja, terlihat sekali bagaimana beliau dulunya adalah seorang
yang sangat cerdas dan visioner. Beliau
banyak memberikan nasihat kepada kami. Salah satunya, mengenai pembelajaran
bahasa. Belajar behasa menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan. Beliau
menasehati kami supaya bisa menguasai berbagai bahasa, utamanya Bahasa Inggris.
Lantas ketika ditanya bisa bahasa apa saja, beliau menjawab, bisa berbahasa
Inggris, Belanda, dan Jepang.
Oh ya, dulu
Eyang Wardoyo pun pernah merasakan dinas di Jepang. Beliau menuturkan, ada satu
hal bagus dari Jepang yang orang Indonesia kurang sekali dalam hal tersebut. Yakni,
pengelolaan terhadap lansia dan attitude.
Beliau menceritakan, “Kalau di Jepang, di supermarket saja, kalau yang datang
adalah lansia, maka anak muda/petugas setempat akan secara otomatis membantu
menuntun lansia tersebut berjalan, serta membawakan tas mereka. Tapi di Indonesia,
jangankan seperti itu. Terkadang kita banyak melihat fenomena di kereta, saat
ada lansia yang tidak kebagian tempat duduk, anak mudanya tidak secara otomatis
berdiri dan mempersilakan lansia tersebut untuk duduk, masih mikir-mikir. Nah ini
yang kurang dari Indonesia.” kata beliau. “Sekarang tata krama mulai pudar.” beliau
menambahkan. “Padahal dulu jaman saya sekolah, tata krama itu diajarkan betul. Jarak
antara orang tua dan anak itu jauh sekali. Kalau sekarang kan, anak dan orang
tua kayak teman saja kan.” (Bicaranya dengan Bahasa Jawa ya, tapi kutuliskan
dalam Bahasa Indonesia)
Lalu, ada
satu hal yang membekas di hatiku sebelum kami mengakhiri percakapan pagi ini. Ketika
ditanya, pesan apa yang hendak eyang sampaikan, beliau menasihatkan,
“Di sini latar
belakangnya macam-macam, Nak. Ada yang dibuang, ada yang ditelantarkan,
macam-macam lah. Makanya pesan saya,
jangan pernah menelantarkan orang tua. Karena itu adalah perbuatan dosa yang
sangat jahat. Bentuklah keluarga
yang penuh cinta kasih. Loving family.
Karena sejatinya tidak ada orang tua yang mau menjerumuskan anaknya. Mereka pasti
akan senantiasa mendoakan, membantu, dan meperjuangkan anak-anaknya. Mereka telah
merawat kita sampai besar, karenanya jangan pernah menelantarkan orang tua. Karena
semua yang muda-muda seperti kalian ini, kelak akan menjadi tua dan lemah juga
seperti kami.”
Aku
tersenyum. Terimakasih Eyang Wardoyo. Terimakasih untuk perjalanan hati yang
luar biasa pagi ini. (Sayang sekali aku lupa berfoto bersama :( )
Setelah menghela
nafas yang cukup panjang, kami beralih ke lansia yang tampaknya sudah lebih
tua. Nama beliau adalah Eyang Iswarjono. Umur beliau 82 tahun. Beliau sudah
cukup lama tinggal di panti ini, yakni 3 tahun. Lantas ketika kami bertanya
apakah dulu ikut berperang, beliau menjawab iya. Lalu, mengalirlah cerita soal
perang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia 71 tahun silam. Ketika kami bertanya,
apakah beliau dulunya tentara atau bukan, beliau menjawab bukan. Beliau lantas
berkata, “Berjuang itukan kewajiban setiap rakyat. Tanggung jawab rakyat, ga
hanya tentara saja. Negara ini yang punya siapa coba? Rakyat. Rakyat lah
penguasa negara. Sehingga, kamu-kamu yang muda ini, bersuaralah. Kalian ini
menjadi perwakilan bagi suara-suara rakyat untuk negara.” Lalu beliau bercerita kembali. Beliau berkomentar,
“Dulu sering sekali terjadi pemberontakan karena setiap orang ingin menegakkan
benderanya sendiri-sendiri. Tidak mau akur. Kalau sekarang, kesadaran rakyat Indonesia
sudah mulai bagus, meskipun dari Sabang sampai Merauke ada banyak sekali pulau
dan berbagai suku bangsa, tapi tetap satu, Indonesia. Kuncinya hanya akur. Kalo
rakyat ga akur, maunya menang sendiri-sendiri, gamau bersatu buat bela negara,
ya negara akan hancur.”
Lalu, ada
sebuah kalimat yang sangat bagus dari beliau.
“Lalu
gimana caranya? Ya belajar. Belajar biar bisa baca, biar bisa nulis. Jadilah manusia yang terus merasa bodoh,
sehingga terus menerus mau untuk belajar. Nanti kalau sudah sukses, jangan pernah lupa dengan sopan santun. Sopan santun
adalah yang paling utama. Doakan semoga eyang selalu sehat, dan eyang doakan
semoga kamu-kamu ini bisa sukses dan lancar urusan-urusannya.”
Aamiin..
Terima kasih atas nasihat dan doanya yang luar biasa siang ini, Eyang. Semoga
selalu bisa menjadi penyemangat dikala kami lelah untuk belajar.
Kemudian hujan turun, pertanda rahmat Allah menyertai kami semua. aamiin..
Kemudian hujan turun, pertanda rahmat Allah menyertai kami semua. aamiin..
Terima kasih
Bang Chandra, Mas Hamdan, Mba Devi, dan Rumah Kepemimpinan Regional 3
Yogyakarta. Perjalanan kali ini memang istimewa. Terima kasih untuk tidak
pernah lelah mengajarkan kami arti hidup melalui perjalanan-perjalanan tak
terduga seperti hari kemarin.
CASINO - JtmHub
ReplyDeleteCASINO in and of itself, 구미 출장안마 Casino at MGM National 보령 출장샵 Harbor, CASINO - 순천 출장마사지 JtmHub.com brings you a full complement of 세종특별자치 출장안마 slot 제천 출장마사지 games, casino tables, table games, restaurants