Hati-hati yang Tulus

10 Desember 2016

Dari kiri : Ali Bahri, Zainal, dan pemuda pemudi dusun Kiyaran
Selamat siang, Pembaca. Ini adalah tulisan yang mestinya sudah kutulis sejak malam itu, tapi baru sempat kutulis sekarang. Jadi, anggap saja kalian sedang membaca cerita ini pada malam itu ya. Wkwk
Terima kasih, Allah. Terima kasih untuk malam yang cerah ini. Terima kasih untuk hati-hati tulus yang belum bisa kupahami sampai sekarang bagaimana bisa sebaik itu.
Tidak banyak yang terjadi hari ini. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu kutuliskan, agar nanti ketika aku sudah mulai lupa dimakan usia, atau bahkan belum sampai masanya aku sudah tiada, orang-orang di sekelilingku akan tahu, pernah ada hari yang tulus mencatat rangkaian peristiwa penuh makna.
Sebuah pencapaian baru. Aku berani menyetir motor sendiri sampai ke Dusun Kiyaran. Mungkin bagi orang lain, ini memalukan. Tapi bagiku, ini sebuah pencapaian baru. Karena sebelum-sebelumnya aku selalu nebeng—entah kenapa belum ada keberanian. Padahal jalannya juga tidak ekstrem-ekstrem amat. Beda dengan Desa Turi, menurutku itu cukup ekstrem dan memang aku belum berani kalau di suruh menyetir motor ke sana sendirian. Tapi aku punya tekad untuk suat saat bisa berani menyetir sendiri ke sana.
Tapi, bukan itu poin pentingnya. Awalnya aku pun tak ada niat sama sekali untuk pergi mengajar TPA anak-anak di Dusun Kiyaran. Sebab, sore itu aku baru saja pulang dari kampus selepas mengerjakan beberapa hal. Inginnya mengistirahatkan badan untuk kemudian melanjutkan pekerjaan yang belum selesai, nanti malam. Tapi entah mengapa, spontan saja jariku mengetik di grup “Aku ikut.” Dan jadilah aku berangkat menuju Dusun Kiyaran bersama empat temanku yang lain.
 Sesampainya di sana, aku dan teman-temanku mampir terlebih dahulu ke rumah mertua manajer kami. Rupanya, TPA dimulai setelah sholat maghrib. Akhirnya sambil menunggu, aku memutuskan untuk jalan-jalan melihat sekitar. Hmmm masya Allah indah sekali desanya. Sejuk, udaranya bersih sekali. Allah memang yang paling tau apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Menikmati alam seperti ini saja, sudah lumayan banyak mengurangi rasa lelahku.
Maghrib pun tiba. Jumlah seluruh temanku yang akhirnya bisa datang ada 11. Ini luar biasa. Sebelumnya belum pernah sebanyak ini. Kami pun membagi tugas, karena rupanya TPA di Dusun Plagrak juga sudah dimulai hari itu. Akhirnya, tujuh orang di Dusun Plagrak dan sisanya di Dusun Kiyaran. Kalian harus tahu. Anak-anak di dusun ini semangat sekali belajar Al-Qur’an. Meski disambi lari-lari dan mainan—yah namanya saja anak kecil, mereka tetap mau menyetorkan bacaan dan hafalan Al-Qur’an mereka. Bahkan ada yang masih kelas 6 SD, hafalannya sudah cukup banyak. Mmm, aku jadi teringat masa-masa SD ketika bisa hafalan tanpa beban.
Adzan Isya pun berkumandang. Kami segera membereskan meja-meja kemudian lanjut sholat isya. Setelah itu, kami kembali ke rumah mertua manajer kami untuk istirahat sejenak sambil meminum teh. Sepanjang istirahat ini, kami saling berbagi cerita. Karena tadi dibagi menjadi dua tim, maka kami saling bertukar informasi mengenai kedua dusun tersebut. Aku tidak bicara banyak. Tapi ada satu yang membuatku kagum, rupanya di Dusun Plagrak ada ibu-ibu yang semangat sekali belajar Al-Qur’an. Padahal, kalian tahu sendiri kan, TPA itu biasanya yang datang dan belajar mengaji adalah anak-anak kecil. Tapi ibu itu datang, dan minta dijari membaca Al-Qur’an. Ah, aku terenyuh. Belajar memang tidak mengenal usia bukan?
Setelah cukup beristirahat, beberapa temanku izin untuk pulang terlebih dahulu karena ada acara lain. Aku juga sebetulnya ingin pulang, tapi.. entahlah. Ada sesuatu yang menahanku untuk tetap tinggal. Setelah itu memang agenda kami adalah ikut rapat pemuda dengan remaja-remaja yang ada di Dusun Plagrak. Karena rapat tersebut hanya diadakan sebulan sekali, sayang memang kalau ada kesempatan kami malah tidak ikut. Akhirnya, kami ikut serta dan sedikit banyak memberi tahu untuk apa sebetulnya kami datang ke dusun tersebut. Yang menarik dalam rapat ini adalah, pemudanya banyak. Aku pikir, akan sedikit yang antusias dengan kumpul pemuda seperti ini. Ternyata banyak. Akan bagus sekali kalau kami benar-benar bisa bekerja sama dengan mereka untuk membangun Dusun Plagrak menjadi dusun yang lebih baik lagi.
Seusai rapat, kami memutuskan untuk pulang. Karena sudah larut, aku meminta tolong pada salah satu temanku agar bersedia menyetir motorku, dan aku membonceng. Ya, karena dia juga paham kalau aku belum terlalu cakap mengendarai motor, jadilah ia mengiyakan. Terima kasih untuk kebaikan hatimu, Megan :)
Sebetulnya, kami lapar. Karena memang dari sore belum makan. Akhirnya, kami memutuskan untuk mampir makan terlebih dahulu sebelum pulang ke asrama. Ada kejadian lucu saat kami mencari makan. Karena inginnya makan mie ayam, jadi mau tidak mau kami harus melihat dengan jeli, masih ada atau tidak warung mie ayam yang buka di sepanjang jalan. Nah, saat melihat warung mie ayam yang cukup besar, begitu berhenti dan hendak makan, rupanya habis. Tertawalah kami sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya kami menemukan warung mie ayam yang masih buka, meski tidak terlalu besar. Di sinilah kejadian yang menginspirasiku untuk kemudian mengabadikannya lewat tulisan, terjadi.
Yang tersisa dari kami saat itu adalah aku, Megan, Nadiyah, Nining, Zainal, dan Ali Bahri. Kami berenam makan sambil sesekali bercerita mengenai apa yang sudah kami dapatkan ketika mengajar di dusun tadi. Seperti biasa, aku selalu yang paling akhir selesai makan. Padahal sudah kuusahakan sesegera mungkin agar tidak ketinggalan. Begitu selesai dan hendak membayar, ibu penjualnya berkata “Sudah semua mba.” Dan aku segera menoleh ke arah Zainal. Aku tahu, pasti dia yang membayar. Karena saat makan tadi, dia sempat menemui ibu penjualnya sejenak. Aku memaksa membayar, tapi dia tetap tidak mau. Katanya, “Alhamdulillah ada rezeki dari univ.” Akhirnya, aku hanya bisa mengiyakan saja.
Allah, terima kasih atas hati-hati baik yang aku tidak tahu kenapa bisa sebaik itu. Menegurku bahwa keberkahan rezeki yang sesungguhnya bukan ketika semuanya disimpan sendiri, tapi justru ketika dibagikan kepada orang lain. Sisa perjalanan menuju asrama pun kulalui dengan perenungan. Apa yang membuatku tertahan di dusun tadi adalah karena Allah ingin mengajarkanku suatu pelajaran kehidupan melalui sosok Zainal. Pelajaran tentang keikhlasan dan pengabdian diri hanya untuk Allah, lagi-lagi tentang ikhlas yang hingga saat ini aku masih harus banyak belajar dari orang lain. Terima kasih, untuk hati-hati tulus yang menjadi perantara datangnya pelajaran kehidupan dari Allah untuk hamba-Nya yang masih bodoh ini.
Terima kasih Zainal, Ali Bahri, Megan, Nadiyah, Nining, Riyana, Emma, Fathan, Lalu, Ari, dan Huda. Mereka semua luar biasa. Kalian bisa belajar banyak pada mereka :)

Comments

Popular posts from this blog

Ketika Allah Memberi Jawaban

Ketika Teknik dan Sastra Bersatu