Catatan Rumah Kepemimpinan 10 : Selamat Tinggal, Rumah Kepemimpinan

Masih teringat betul kata-kata yang dilontarkan Bang Bachtiar selaku Direktur Rumah Kepemimpinan pada saat NLC (National Leadership Camp) empat bulan lalu, “Kita adalah pemimpin. Jalan pemimpin tidaklah sama. Jalan kita dipenuhi dengan penderitaan, ditempa berbagai cobaan, dihalang bermacam rintangan.”
Itulah yang saat ini terjadi pada kami. Seperti badai yang hendak merobohkan pepohonan, ujian yang datang bagi Rumah Kepemimpinan sedikit banyak menggoyahkan kekuatan hati-hati kami. Tangis dan air mata yang sebelumnya sudah banyak jautuh, kini lebih menjadi-jadi. Tapi doa-doa kami tak pernah putus, dengan keyakinan bahwa akan ada keajaiban besar setelah ini.
Rumah Kepemimpinan mengalami krisis. Ceritanya panjang. Keadaan ini kemudian membuat Rumah Kepemimpinan tidak dapat memberikan uang saku beberapa periode yang merupakan seperempat dari total keseluruhan beasiswa yang mestinya didapatkan setiap peserta setiap bulannya. Karena hal itu pun, peserta dipersilakan untuk memilih, akan tetap tinggal atau mundur dan keluar dari Rumah Kepemimpinan.
Aku ingat betul malam itu, saat tangis memecah langit asrama Nakula. Tak hanya peserta, manajer dan spv kami pun menangis. Belum pernah sebelumnya Rumah Kepemimpinan mengalami masalah seberat ini. Aku yang tidak berperan dalam mengurusi sistem dan segala macam hal teknis apapun itu, turut merasakan betapa beratnya ujian ini. Ditambah kebijakan dalam mempersilakan peserta untuk memilih akan tetap tinggal atau mundur, membuat kami menjadi semakin goyah, mengingat empat bulan keberadaan kami di sini sungguh tidak mudah. Ada berbagai macam hal yang belum sesuai dengan ekspektasi kami di awal, ada banyak ideologi yang kurang pas dengan kami, dan seabrek hal lain yang kalau memang mau digali terus memang tidak pernah ada sempurnanya. Malam itu kami menyanyikan hymne rumah kepemimpinan sambil memeluk saudara-saudara kami satu sama lain. Kami menyanyikan hymne rumah kepemimpinan diantara sesenggukan tangis dan desau lirih angin malam.
Di hati tlah tertanam cinta..
Rela korankan jiwa raga..
Bagi kehormatan dan cita..
Tegakkan kejayaan bangsa..

Meski jiwa gugur sebagai penebus..
Tak akan goyahkan hati..
Tlah bulat tekad..
Untuk berbakti,
Mengemban misi bersih suci..

Tanpa harap balasan jasa..
Hanya ridho Allah semata..
Rumah Kepemimpinan berjuang..
Demi Indonesia mulia..
Hari pun berganti. Satu persatu dari kami mulai goyah. Aku pun. Tapi doa kami tak pernah putus. Memohon kepada Sang pemilik hati agar ditunjukkan jalan yang terbaik. Bagiku, semua ini bukan hanya perkara uang. Karena toh sampai detik ini, kami masih baik-baik saja tanpa uang saku setiap bulannya.
Allah Maha Baik. Penandatanganan surat perjanjian ulang yang awalnya akan dilakukan pagi ini, diubah menjadi nanti malam. Allah Tahu Segalanya. Allah memberiku kesempatan menulis tulisan ini terlebih dahulu sebelum tinta terlepas dari penanya. Allah meyakinkanku untuk tetap berjuang di sini. Dengan segala konsekuensi dan halang rintang yang ada. Mungkin ke depan akan lebih banyak air mata yang tumpah, tapi seiring dengan itulah akan lebih banyak pula sujud yang merekah. Rumah Kepemimpinan akan menjadi lebih baik. Rumah Kepemimpinan akan mampu mengatasi semua ini dan ketika saatnya tiba, Rumah Kepemimpinan akan berlari berlebih kencang, berdiri lebih kokoh, dan bergandengan tangan lebih kuat bersama-sama menuju surga.
Selamat tinggal Rumah Kepemimpinan yang sedang krisis,

Selamat datang Rumah Kepemimpinan yang akan lebih kokoh bersinergis. 

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Rumah Kepemimpinan 15: Menjadi Pasangan Strategis, Kenapa Tidak?

Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!

Kisah Inspiratif Spesial Ramadhan : Keajaiban Istighfar