Kisah Inspiratif 11 (Secuil Potongan Ayam dalam Semangkuk Sup)
27 Oktober 2015
Selamat malam. Aku tidak tahu apakah kisahku kali ini adalah
kisah inspiratif atau bukan. Tapi aku hanya ingin bercerita saja.
Kenapa judulnya secuil ayam dalam sup? Ya, karena secuil ayam
ini senantiasa mengingatkanku pada sesorang. Seseorang yang sangat
menginspirasi hidupku. Merry Riana.
Aku tidak tahu. Beberapa orang menganggapku lebay dengan
caraku bertahan hidup di Jogja. Dengan pola makanku, dan beberapa tingkah
lakuku. Memang bagaimana?
Aku bukanlah tipe orang yang bisa meninggalkan makan pagi.
Atau ya, sebut sajalah sarapan. Terlebih bila hari itu aku harus beraktivitas.
Jadi, aku men-setting makanku seperti ini. Aku selalu membeli nasi 3000.
Ini untuk dua kali makan. Malam, dan esok paginya. Tenang, nasi 3000 yang
dijual warung makan samping asramaku ini banyak sekali. Untuk manusia mungil
seperti aku, itu sudah sangat cukup untuk 2x makan. Kemudian aku membeli sup
2000, dan sayur yang lain yang bisa tahan hingga esok hari 2000 pula. Jadi
untuk makan satu hari, kira-kira aku hanya mengeluarkan 7000 rupiah, yah, 8000
kalau dengan tempe goreng 2 potong. Aku tidak melakukan pengiritan apapun.
Kalau memang tidak perlu, kenapa harus banyak-banyak? Aku tetap makan dengan
sayur, meski terkadang tanpa lauk. Tapi kalian harus tahu. Sup yang biasa aku
beli, isinya macam-macam. Tidak hanya sayur saja. Terkadang ada secuil potongan
daging ayam, atau beberapa potong sosis. Pernah juga waktu itu bakso. Nah,
inilah yang membuatku teringat pada miss Merry. Saat masa perjuangannya
mengenyam pendidikan tinggi di Singapore, ia hampir tidak pernah makan
siang. Kalaupun memang ingin makan, ia selalu memilih menu yang paling murah.
Yakni nasi dan sayur tahu. Beruntungnya, kantin tersebut menyediakan kuah kaldu
ayam gratis. Jadi, miss Merry selalu menggunakan kuah tersebut untuk makan.
Terkadang malah hanya makan dengan kuah kaldu tersebut. Seringnya juga, miss
Merry menciduk dalam-dalam kuah kaldu tersebut, dengan harapan bisa menemukan
secuil potongan-potongan ayam yang biasanya ada di bagian bawah. Inilah yang
kemudian mengingatkanku padanya setiap kali menemukan potongan ayam pada sup yang
kubeli. Sama seperti perasaan miss Merry kala itu, aku senang sekali. Karena di
sini pun, ayam adalah sesuatu yang mewah sekali buatku. Aku sampai tidak ingat
kapan kali terakhirku makan ayam saking jarangnya. Mungkin saat acara studi
karya beberapa minggu yang lalu. Bahagia itu sederhana ya? Menemukan secuil ayam
pada semangkuk sup.
Nah, karena hal ini, beberapa orang beranggapan aku lebay.
Terlalu irit. Yah, kalau boleh jujur, aku bisa saja makan ayam setiap hari.
Berganti menu setiap waktu. Menggunakan lauk-lauk mahal ditambah minuman
seperti es teh, atau semacamnya. Aku bisa saja menghabiskan jatah uangku setiap
bulan untuk makan. Tapi, apa asiknya?
Aku rasa berjuang tidak memiliki arti yang sempit. Belajar
keras sampai larut malam bahkan sampai tidak tidur, ke kampus setiap hari dari
pagi sampai malam, membabat habis seluruh buku di perpustakaan, ya, itu
perjuangan. Tapi rasanya, definisi perjuangan tidak hanya sampai di situ. Hidup
sulit dalam kesederhanaan juga perjuangan. Apa asiknya berjuang dalam kemewahan
dan gelimang harta?
Apa yang akan kubagikan pada anak cucuku nanti? Apa yang akan
mereka ambil pelajaran dariku bila selama berjuang di bumi Gadjah Mada aku
tidak bersusah payah?
Aku senang, bahkan terkadang sempat iri dengan orang tuaku.
Mereka hidup di zaman yang ah, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang kualami
saat ini. Aku begitu kagum dengan perjuangan mereka semasa sekolah. Bagaimana
mereka harus berjalan jauh, berkilo-kilo meter. Sedangkan aku? Bersepeda.
Bagaimana kaki mereka melepuh karena sepatu yang sudah rusak, bahkan terkadang
tak memakai sepatu. Sedangkan aku? Sepatu saja dua. Bagaimana mereka makan
hanya dengan tempe tahu, bahkan terkadang hanya nasi? Sedangkan aku, sudah
dengan sayur.
Bolehlah kalian berpendapat sekarang zaman sudah maju.
Semuanya serba cepat. Teknologi semakin canggih dan bla bla bla. Tapi kalian
harus tahu. Jati diri itu dibentuk atas dasar perjuangan, kerja keras, dan rasa
sakit. Agar apa? Agar kita tidak lupa saat nanti sudah berjaya.
Ayahku, ibuku, dan orang-orang yang hidup pada masa sulit,
sekarang badannya kuat. Jalan jauh tidak mudah lelah. Padahal mereka sudah tua.
Sedang kita? Kebanyakan dari kita maksutku, jalan sedikit saja sudah mengeluh
ini itu, lapar, haus, dan sebagainya. Padahal kita lebih muda. Perihal waktupun
begitu. Mengandalkan mobil atau motor, berangkat lima menit sebelum acara
dimulai dan akhirnya terlambat. Enteng sekali sepertinya. Aku bukan membela
diri karena sampai sekarang tidak berani mengendarai motor, bukan. Tapi
pemikiran para pejalan kaki dan pesepeda bahwa mereka membutuhkan waktu lama
untuk bisa sampai ke tempat tujuan, membuat mereka jauh lebih siap dan jauh
lebih awal mempersiapkan diri. Belajar dari ayah dan ibuku, mereka memang bisa
saja mengendarai kendaraan bermotor dalam waktu cepat. Ngebut, dan menyalip
sana-sini. Tapi tidak. Baik ayah maupun ibuku-aku pikir begitu juga dengan orang
yang hidup di masa sulit-mereka selalu meng-agendakan berangkat awal, dan
sampai tujuan setidaknya 15-30 menit sebelum acara dimulai. Beberapa hal ini
yang membuatku terkadang sering kesal, pada orang-orang yang sering terlambat,
padahal mereka membawa kendaraan sendiri. Bisa dipastikan aku adalah orang yang
tidak pernah terlambat. Silahkan tanya beberapa temanku. Aku sering datang
kuliah paling awal, dan sendiri. Karena memang pada dasarnya aku tidak terlalu
suka terburu-buru. Lebih tenang datang awal, dan santai sejenak sambil menunggu
masuk kelas.
Aku tidak mau, anak-anakku nanti mendengarkan kisah indah
kehidupan mahasiswa Gadjah Mada yang berlimang harta. Aku mau mereka tahu,
bahwa belajar kehidupan itu penting. Dengan makan sederhana, kita akan tahu
bagaimana orang-orang di sana yang juga makan seadanya, bahkan tidak bisa
makan. Kita akan sangat sangat bersyukur ketika suatu saat diberi rezeki lebih
untuk makan enak. Kalian harus percaya, rasanya sampai ingin menangis. Pun
dengan berjalan kaki, mengayuh sepeda atau menaiki kendaraan umum, kita akan
tahu, bagaimana menjadi orang-orang yang tak punya kendaraan. Bagaimana
orang-orang yang hanya punya sepeda sedangkan harus berangkat bersama. Sedikit cerita
selipan, suatu sore saat perjalanan pulang, aku melihat seorang bapak-bapak
menaiki sepeda. Di belakangnya ada keranjang belanja yang entah isinya apa,
lalu diatasnya ada seorang perempuan-mungkin istrinya. Aku tak berhenti menatap
mereka hingga berbelok. “Oh Allah, aku sudah bawa sepeda sendiri, tapi kalau
panas menyengat saja kadang masih suka mengeluh. Bagaimana dengan bapak itu
tadi? Sudah bawa sepeda, masih bawa keranjang belanja, ada istrinya pula yang
duduk diatasnya. Ampuni hamba bila masih tergolong manusia yang tidak
bersyukur, Allah..”
Dengan hidup seperti ini pun, kita menjadi lebih sehat.
Semenjak di Jogja, aku jadi jarang sekali makan atau minum yang aneh-aneh. Air
putih saja cukup. Ya, karena minuman selain air putih mahal. Sekali-kali jus,
amanah dari ibuku, hehe. Pun aku tidak pernah makan mie. Selain tidak
mengenyangkan, aku juga malas membeli. Aku jarang makan makanan berlemak, atau
yah, semacamnya lah. Karena menurut penelitian tahu dan tempe juga sangat baik
untuk tubuh ya, jadi fine-fine saja setiap hari aku hanya makan dengan
tahu atau tempe dan sayur.
Saat itu ada yang berkomentar, “Tapi, Rosy. Miss Merry pas
itu kan emang ga punya duit. Kalo kamu ini di buat buat. Lebay.”
Ya, pandangan orang memang tidak ada habisnya. Tapi aku tidak
malu kok. Aku justru senang karena dengan begini aku bisa tahu bagaimana
rasanya hidup sulit, jadi sedikit tahu-sangat sedikit tahu-bagaimana rasanya
menjadi orang tuaku di masa dulu. Bahkan terkadang aku malu bila bisa hidup
enak, sementara ingat bagaimana orang tuaku berjuang dulu.
Pun saat godaan untuk laundry muncul, aku berusaha sekuat
tenaga untuk menepisnya. Selain membuang uang, kalau memang punya tangan kenapa
tidak dimanfaatkan? Teringat bagaimana orang-orang yang jangankan mencuci,
memakai baju pun sulit karena tidak punya tangan.
Yah, intinya, secuil potongan ayam yang menjadi judul kisahku
kali ini melambangkan kesederhanaan. Terkadang kesederhaan membuat kita menjadi
lebih kreatif, lebih bersyukur, dan lebih menghargai terhadap apa-apa yang
diberikan Tuhan kepada kita.
Semoga bermanfaat :D
Salam #MudaMenginspirasi !
Comments
Post a Comment