Mungkin, Seperti Ini Rasanya Menemukan Jodoh
Happy weekend, Pembaca! Kali ini aku akan berbagi sesuatu
yang sangat sangat keren! Apa? Kalian yang mengikuti story IG dan WA-ku, pasti
tau.
Oke, sama seperti tulisanku sebelumnya soal film Searching, aku tidak akan membahas isinya, tetapi poin-poin penting yang kudapatkan dari buku ini.
Menurut Hamka, kita harus mengerahkan iman dan akal kita untuk membuat kemajuan bagi bangsa dan negara dan meraih tempat terhormat di dunia sebagai muslim.
Hamka mengingat air mata ibunya ketika dipanggil untuk disuruh menyetujui Haji Rasul menikah lagi.
Sebab aku adalah perempuan, kisah ini sungguh membuatku menangis haru.
Kata Hamka, “Rencana yang lahir daripada manusia lain dari rencana yang ghaib dari Allah. Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Alquranul Karim.”
Hamka memaafkan Pramoedya Ananta Toer dan orang-orang lain yang menyerangnya pada era Sukarno. Dan ketika Sukarno sendiri meninggal dalam status tahanan rumah pada Juni 1970, Hamka-lah yang menjadi imam shalat jenazah Sukarno. “Kita, katanya, adalah bangsa pemaaf. Benar bahwa saya sudah bertahun-tahun menderita karena korban Sukarno… Tapi kita mesti mengakui bahwa meski ada kesalahan besar membiarkan komunis, dia adalah orang besar.” Menggunakan bahasa revolusi, dia berkata, “Nasionalisme kita ini Bung Karno yang membangun.” “Dengan ikhlas saya berkata di dekat peti matinya, ‘Aku maafkan engaku, Saudaraku.’”
Yap, buku berjudul Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis
Besar untuk Indonesia Modern karya James R. Rush. Awalnya aku galau, sebab saat
itu aku ingin sekali membeli buku puisi. Akan tetapi, entah kenapa ketika
melihat buku ini aku seketika goyah. Harganya agak mahal memang, membuatku
berpikir berulang kali harus membelinya atau tidak.
Di akhir, setelah selesai membaca, aku sama sekali tidak
menyesal sedikitpun―bahkan jika harganya lebih mahal dari yang aku beli saat
itu. Oh ya, aku menghabiskan buku ini dalam waktu 5 hari. Meski isinya agak
berat, tetapi Rush berhasil menulisnya dengan gaya bercerita yang sangat baik
dan menarik. Penasaran? Berikut salah satu kutipannya.
Kepercayaan
Hamka adalah bahwa Islam merupakan agama yang memerdekakan, dan impiannya
adalah mengisi kehidupan Indonesia modern dan negara itu sendiri dengan
kebijaksanaan dan kebenaran Islam.
Oke, sama seperti tulisanku sebelumnya soal film Searching, aku tidak akan membahas isinya, tetapi poin-poin penting yang kudapatkan dari buku ini.
1. Hamka merupakan sosok
cendekiawan muslim sekaligus penulis besar, penyair, dan ulama.
Aku bergetar setiap kali membaca kisah hidup Hamka. Hal yang
paling menarik bagiku adalah keputusannya di umur 16 tahun untuk merantau ke
Jawa, lalu nekat pergi ke Mekah 3 tahun setelahnya, di umur 19 tahun. Hal ini dilatarbelakangi
oleh kekhawatiran ayahnya―Haji rasul, saat Hamka berumur 16 tahun. Kata Haji Rasul,
“Seumur Engkau, aku sudah di Mekah.”
2. Gagasan kuat Hamka
adalah mengenai 2 hal, yakni kemerdekaan Indonesia dan kebangkitan kembali
Islam. Kedua hal ini menjadi visi besarnya, yakni Islam untuk Indonesia.
Hal yang sangat keren pada poin ini adalah, Hamka mengandalkan
iman dan akal―bukan salah satunya saja.
Menurut Hamka, kita harus mengerahkan iman dan akal kita untuk membuat kemajuan bagi bangsa dan negara dan meraih tempat terhormat di dunia sebagai muslim.
(via
Rush, 2018: 20)
3. Islam yang menjadi
pedoman masyarakat, adalah Islam yang modern.
Hamka tidak setuju dengan taklid (penerimaan tanpa mempertanyakan), sebaliknya ia memandang
bahwasannya sebagai muslim, kita mesti menggunakan akal dan membuka pintu ijtihad (bersungguh-sungguh mencurahkan
pikiran dalam menyelesaikan persoalan agama) lebar-lebar.
Menurut
Hamka, dengan itu (akal dan ijtihad),
muslim Indonesia mampu memahami nilai sains dan industri dan produk lain
pencerahan barat tanpa menerima sekulerisme dan pemisahan mutlak agama dan negara.
Mereka bisa mengakui kejeniusan Karl Max serta gagasannya tanpa menerima
komunisme yang mengajarkan perang antarkelas dan bahwa agama adalah ‘candu
rakyat’
(via
Rush, 2018: 120)
Menurut
Hamka, dengan mengandalkan sumber asli Islam, yakni Quran, beserta hadits
shahih dan penggunaan akal secara tertib, umat Islam Indonesia depat menciptkan
masyarakat yang benar-benar modern dan Islami.
(via
Rush, 2018: 121)
4. Hamka dianggap sebagai
sosok yang mampu menjadi jembatan yang menghubungkan semua golongan.
Pada waktu itu, MUI terbentuk dan Menteri Agama Mukti Ali
membujuk Hamka untuk bisa menjadi ketua MUI. Di sinilah tampak bahwa Hamka
menjadikan Islamnya sebagai Islam yang rahmatan lil’alamin. Islam yang membawa
kedamaian bagi seluruh alam, semua umat.
Dia seorang muslim
Muhammadiyah yang menjauhkan diri dari fanatisme dan, di antara tokoh-tokoh
Muhammadiyah, hanya Hamka yang secara teratur diundang berbicara di acara-acara Nahdlatul Ulama. Hasan Basri,
yang kemudian menjadi wakil ketua MUI, menyebut Hamka sebagai satu-satunya
pilihan yang bisa terpikirkan.
(Rush, 2018: 210)
Baiklah, cukup 4 poin utama. Selebihnya aku akan menuliskan
beberapa hal yang membuat hatiku menangis ketika membaca buku ini.
a. Hamka tidak mendukung
poligami.
Diceritakan
saat itu, Hamka diminta oleh ayahnya untuk menikah lagi, sebab ayahnya membutuhkan
pengurus untuk membantu sekolah tablig di Padang Panjang. Akan tetapi, Hamka
telah berkomitmen untuk hanya beristri satu.
Hamka mengingat air mata ibunya ketika dipanggil untuk disuruh menyetujui Haji Rasul menikah lagi.
(via
Rush, 2018: 79)
Sebab aku adalah perempuan, kisah ini sungguh membuatku menangis haru.
b. Hamka adalah pribadi
hebat.
Ada
suatu masa, Hamka difitnah melakukan plagiasi dan turut serta dalam pertemuan
rahasia yang membahas rencana pembunuhan Presiden Sukarno. Tuduhan ini membuat
Hamka harus ditahan selama 2 tahun lebih 4 bulan. Hebatnya, selama berada di
penjara Hamka berhasil menafsirkan Alquran 30 juz.
Kata Hamka, “Rencana yang lahir daripada manusia lain dari rencana yang ghaib dari Allah. Allah rupanya menghendaki agar masa terpisah dari anak isteri dua tahun, dan terpisah dari masyarakat, dapat saya pergunakan menyelesaikan pekerjaan berat ini, menafsirkan Alquranul Karim.”
(via
Rush, 2018: 187)
c. Hamka adalah sosok
berhati emas.
Di kemudian
hari, kedua tuduhan itu tidak terbukti, dan Hamka dinyatakan tidak bersalah. Yang
membuat saya menangis adalah, Hamka memaafkan semua pihak yang terlibat dalam penuduhannya
tersebut.
Hamka memaafkan Pramoedya Ananta Toer dan orang-orang lain yang menyerangnya pada era Sukarno. Dan ketika Sukarno sendiri meninggal dalam status tahanan rumah pada Juni 1970, Hamka-lah yang menjadi imam shalat jenazah Sukarno. “Kita, katanya, adalah bangsa pemaaf. Benar bahwa saya sudah bertahun-tahun menderita karena korban Sukarno… Tapi kita mesti mengakui bahwa meski ada kesalahan besar membiarkan komunis, dia adalah orang besar.” Menggunakan bahasa revolusi, dia berkata, “Nasionalisme kita ini Bung Karno yang membangun.” “Dengan ikhlas saya berkata di dekat peti matinya, ‘Aku maafkan engaku, Saudaraku.’”
(via
Rush, 2018: 194)
Entah berapa kali kuulangi membaca bagian ini, mataku terus
saja berkaca-kaca. Aku tidak bisa menuliskan lebih banyak lagi. Kalian harus
membaca buku ini sendiri.
Bagi Hamka, hidup tidak
boleh kepalang tanggung, hanya dalam ritme rutinitas tanpa makna dari waktu ke
waktu. Manusia mesti berpikir tanpa henti, mencari sesuatu yang terbungkus
dalam rahasia Allah yang terbentang di alam semesta ini.
Comments
Post a Comment