Belajar Ridha, Belajar Ikhlas
Selamat
siang, Pembaca!
Kali
ini aku akan menuliskan kembali apa yang telah disampaikan oleh Ustad Syatori
Senin sore kemarin. Sebetulnya, di saat yang bersamaan, ada juga kajian di
maskam, dan pengisinya adalah Muzammil. Beberapa temanku ikut, dan aku juga
ingin sekali bergabung bersama mereka. Hanya saja, sore ini, Muzammil juga
mengisi di Nurul ‘ashri. Jadi, aku memutuskan untuk ikut yang Selasa sore saja,
sehingga Senin sore aku tetap bisa ikut kajian tafsir Ustad Syatori. Dan, aku
tidak menyesal sedikitpun. Materi kajian Ustad Syatori sore itu membuatku
terenyuh.
Perlu kalian
ketahui, Ustad Syatori adalah pribadi yang sangat lembut. Mirip dengan Aa Gym. Kalau
ikut kajian beliau rasanya adem
sekali. Nah, sore itu, beliau mengawali kajian dengan persoalan tadabbur. Untuk apa sih tadabbur Alquran?
Ya, untuk menjadikan Alquran sebagai cermin, untuk melihat wajah kehidupan kita
sebagai hamba Allah. Untuk memastikan, ada tidaknya sifat kehambaan dalam
diri kita. Apa iya, kita ini hamba Allah?
Jangan-jangan bukan. Jangan-jangan kita selama
ini adalah hamba jabatan, hamba popularitas, atau hamba dari apa-apa selain Allah.
Nah, ternyata
wajah dari hamba Allah itu ada 2, yakni Ridha
dan Ikhlas. Pertanyaannya, kalau ridha tapi mengeluh dan ikhlas tapi kecewa,
hamba Allah bukan yah? Jleb. Kalau
kita mengaku benar-benar hamba Allah maka apapun kebaikan yang kita lakukan,
pasti ikhlas. Tidak peduli bagaimana respon atau hasil dari yang kita lakukan
itu. Misalnya, membantu orang lain. Ternyata setelah dibantu, orang tersebut malah
menyakiti kita. Kira-kira, apa yang kita rasakan? Kalau kita mengaku hamba
Allah, harusnya sih kita tidak kecewa, tapi justru bertambah ikhlas, sebab kita
tahu, dalam keadaan seperti ini pahala Allah bagi kita justru semakin besar. Menjadi pribadi yang ridha dan ikhlas,
berarti meyakini bahwa segala sesuatu itu terjadi atas izin Allah, dan itu
pasti membawa kebaikan.
Lalu,
Ustad Syatori memberi contoh yang khas anak muda. Soal pernikahan. Ketika
berada di posisi tidak jadi menikah dengan si A, misalkan, maka ikhlas adalah
menggumam, “Mungkin saya bukan yang
terbaik untuk dia.” bukan sebaliknya, “Mungkin dia bukan yang terbaik untuk
saya.” Mengapa? Karena kalau “Mungkin dia bukan yang terbaik untuk saya”, unsur
kesalnya masih ada. Belum ikhlas. Seakan-akan menganggap pihak ‘dia’ yang
jelek. (Lalu seketika aku senyum-senyum sendiri dan menggumam, ya, bisa jadi saya memang bukan yang terbaik untuk
kamu.)
Kemudian,
masuk ke pembahasan tafsir surah An Nuur ayat 61, bagian akhir. Bunyi ayatnya
begini,
Artinya,
Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.
berasal dari (‘aqlu)
yang artinya akal, atau bisa juga dimaksudkan ‘agar kamu berfikir (menggunakan
akal)’. Nah, berfikir di sini artinya memahami
dan mengerti sehingga bisa menjadi motivasi untuk beramal.
Kemudian dimaksudkan sebagai segala yang bisa menyampaikan
kita pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu Allah. Nah pertanyaannya, sudah berapa lama kita mengenal Allah?
Kalau sudah lama, sudah sampaikah kita pada-Nya sekarang ini?
Inilah
3 keadaan hamba yang sudah dinyatakan sampai pada Allah:
a. Tenang bersama Allah.
Tidak
ada rasa sedih kecewa, dll, karena ingat, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya
sendirian.
b. Bahagia bersama sesama.
Bahagia
adalah ketika kita membahagiakan orang lain.
c. Damai bersama diri sendiri.
Tidak
lagi menyalahkan orang lain, tetapi menyalahkan diri sendiri dalam makna
positif, yakni tekad untuk berubah menjadi lebih baik.
Bagaimana
caranya mencapai 3 keadaan itu?
Jadi, hidup adalah tentang ridha pada
setiap kejadian dan ikhlas dalam setiap perbuatan. Termasuk mengikhlaskan kamu, mungkin.
Comments
Post a Comment