Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!
Terima kasih, Allah.
Sudah diizinkan bertemu dengan Ramadhan, lagi.
Aku berdoa,
semoga akan banyak pelajaran dan hikmah besar selama satu bulan ini. Semoga aku
bisa lebih peka dengan setiap pelajaran yang Allah sampaikan lewat apapun itu.
Hari pertama
puasa, inginnya menghabiskan waktu bersama keluarga. Mulai dari sahur, sampai
nanti berbuka. Tapi apalah daya ketika semua orang berfikir hal yang sama,
tiket kereta ludes tak bersisa (ini cerita
atau baca puisi, kok sajaknya a-a-a-a?) oke, jangan terlalu serius. Jadi, di
hari pertama puasa tahun ini, kegiatanku adalah menjadi penguji placement test untuk kegiatan PBQ
(Pesantren Baca Qur’an) di UGM. Bukan hal yang mengherankan ya, kalau saat
Ramadhan marak kegiatan-kegiatan seperti ini. Tapi, ada pelajaran berharga yang
kudapatkan dari kegiatan tersebut, sebagai ganti tidak jadi pulang ke Solo.
Awalnya, peserta
yang hadir untuk placement test hanya
sekitar belasan. Umurnya pun terlihat sepantaran denganku—kisaran mahasiswa lah. Kupikir
juga kegiatan ini khusus untuk mahasiswa saja. Sampai pada urutan peserta yang
ke berapa aku lupa, pertanyaanku terjawab.
“Mba, ini nanti
waktunya jam berapa ya? Soalnya saya kerja, jadi bisanya ya habis subuh gitu.”
“Oh, kerjanya sampai
sore mba?” tanyaku menanggapi.
“Iya, dari pagi
sampai sore.”
“Oh, ya, nanti
bisa dikoordinasikan lagi kok. Karena jadwalnya masih bisa ganti.” Timpal mba Kartika
yang juga duduk sebagai penguji.
Lantas aku
bergumam, “Waah.. sudah kerja..”. Terlepas masih mahasiswa atau tidak, aku
cukup merasa kagum saat itu. Lihat, meski sibuk bekerja, semangat untuk
memperbaiki bacaan Al-Qur’annya tinggi sekali.
Kemudian sekitar
pukul sepuluh, peserta yang lain mulai berdatangan. Wah, banyak juga ya, batinku. Memang sih, di awal, kami (aku, mba
Kartika, dan mba Widdad) selaku penguji diberitahu kalau jumlah yang mendaftar PBQ
ada 60 orang. Hanya saja, saat itu juga aku berfikir bahwa kami akan dibagi
kelompok, lalu setiap penguji mendapatkan jatah menguji 10 orang katakanlah. Eh,
ternyata tidak. Satu per satu, setiap peserta, diuji oleh tiga penguji
sekaligus. Bisa membayangkan berapa lama? Haha. Tapi tidak ada rencana Allah yang
tidak memberikan hikmah.
Para peserta sudah
banyak yang beranjak pulang ketika sosok pembawa hikmah ini maju. Badannya tinggi,
mengenakan gamis dan jilbab yang cukup lebar. Dari wajah dan caranya bicara,
aku menduga sosok ini bukan lagi seorang mahasiswa. Umurnya sekitar 40 tahun ke
atas. Saat mulai membaca, aku tersenyum. Makharijul
hurufnya sudah sangat baik. Tajwidnya juga cukup. Hanya kurang lancar. Sekali
dua kali salah—mungkin
grogi. Saat itu, entah mengapa, terbesit saja di pikiranku, “Hebat ya, belajar
Al-Qur’an memang tidak kenal umur. Tapi kalau dipikir-pikir, banyak kan lembaga
yang khusus ibu-ibu? Kenapa ya ibu itu mau ikut PBQ padahal rata-rata peserta
lainnya adalah mahasiswa?”
Nah, Pembaca. Mumpung
masih hari pertama puasa, yuk belajar dari sosok ibu yang satu ini. Sudah
sekian umurnya, tapi tidak berhenti untuk terus memperbaiki bacaan Al-Qur’annya.
Jangan sampai nih, yang masih muda seperti aku justru malas memperbaiki bacaan
Al-Qur’an sebab merasa waktu hidup di dunianya masih lama. Tiba-tiba teringat
perkataan Ustad Ransi beberapa waktu yang lalu, “Anak muda sekarang, ilmunya
sedikit, gayanya selangit.” Na’udzubillah..
Special thanks to Mas Farhan yang sudah menjadi
jembatan atas sampainya pelajaran kehidupan dari Allah untukku hari ini. Semangat
Ramadhan, semoga kita bisa menjadi pribadi yang peka dengan pelajaran-pelajaran
yang Allah sampaikan lewat alam dan kehidupan :)
Comments
Post a Comment