Catatan Kampus 1 : Menertawakan “Sesuatu”
17 Oktober 2016
Winny (Mandarin)-Rosyda-Junpei(Jepang) Foto oleh : Nur Fahmia |
Kali ini aku akan sedikit berbagi mengenai apa yang barusan kupelajari dalam kelas Linguistik Austronesia. Aku tidak akan menuliskan materi yang kudapatkan tentunya, tetapi lebih kepada pelajaran di luar materi yang kudapatkan di dalam kelas hari ini.
Jadi, di kelas Linguistik Austronesia ada dua mahasiswa asing. Satu dari Jepang dan satu dari Mandarin. Dua-duanya punya semangat belajar yang ah.. seringkali membuatku malu. Mereka bersemangat sekali ketika diajak berdiskusi dengan dosen. Seperti halnya hari ini, aku dan teman-teman berulang kali dibuat tertawa oleh kedua mahasiswa asing yang semangat belajarnya luar biasa itu.
Aku sampai tidak bisa menghitung, sudah berapa gejala kebahasaan yang perlu untuk diteliti dan dikaji lebih jauh—seperti yang kami temukan hari ini. Padahal hanya bermula dari celetukan salah satu dari mahasiswa asing tersebut, yang pada akhirnya justru membuatku dan teman-teman serta dosen menyadari dan akhirnya melontarkan pertanyaan, “oiya ya, kenapa begitu ya?” Kalau dingat-ingat, sepertinya ada lebih dari lima gejala kebahasaan yang kami temukan dalam 2 sks mata kuliah Linguistik Austronesia ini. Salah satu yang cukup menarik adalah penggunaan afiks “se-”. Bermula dari kata sesaji, yang merupakan contoh lain dari bentuk pengulangan suku depan seperti kata tetikus, Junpei—mahasiswa asing dari Jepang itu kemudian bertanya, “Apakah sama dengan sesuatu? Bagaimana dengan kata sesuatu?” lantas kami tertawa. Bukan, bukan kami menertawakan pertanyaannya. Tapi karena selama ini kami sebagai penutur asli Bahasa Indonesia tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Jangankan mempermasalahkan, berfikir tentang itu saja tidak. Tapi lihat, Junpei dengan rasa penasarannya yang begitu besar melihat dengan detail hal-hal seperti itu. Kemudian dosen kami menjawab, itu bisa menjadi bahan kajian. Bagaimana kemudian aturan penggunaan afiks se- sebenarnya. Apakah kata sesuatu bisa dikatakan sebagai pengulangan suku depan dari kata suatu seperti halnya kata tetikus dan sesaji?
Kemudian gejala kebahasaan yang kedua adalah penggunaan kata “itu”. Kalau sesuai aturan, itu adalah kata tunjuk untuk suatu hal yang jauh. Tapi bagaimana ketika ada yang mengatakan “saya itu ….” Bukankah seharusnya “saya ini...”? karena saya letaknya dekat, jadi seharusnya menggunakan kata “saya ini”. Kemudian Junpei mengutarakan pendapatnya, “Sepertinya itu bisa dijadikan sebagai penjelasan sebuah definisi. Misalnya ketika ditanya apa itu buku? Maka jawabannya bisa berupa buku itu sesuatu yang bla bla bla…” membuat kami lagi-lagi menggumam, “Hmmm iya ya, bisa juga ya.” Dosen kami pun kemudian mengatakan bahwa hal tersebut bisa juga menjadi salah satu fungsi kata “itu”, bila di dalam kalimatnya mengandung unsur definisi.
Aku sungguh kagum dengan Junpei. Bisa dikatakan dia cerdas sekali. Bahasa Indonesianya sudah sangat lancar. Pemahamannya terhadap materipun sangat cepat. Sedikit cerita, aku pernah bekerja satu kelompok dengan dia. Kami diminta oleh dosen untuk membuat presentasi yang nantinya akan disampaikan kepada teman-teman sekelas. Waktu itu, mata kuliahnya adalah Semantik. Kalian harus tahu, menjelaskan materi pada Junpei itu sungguh mudah! Dia dengan cepat memahami apa yang kujelaskan (padahal dengan Bahasa Indonesia). Bahkan di beberapa poin dia bisa memberikan contoh yang lebih mudah dari yang kujelaskan. Sehingga membuatku sedikit malu karena dia yang orang Jepang saja tahu hal-hal yang lebih sederhana.
Dari kisah hari ini, aku begitu mensyukuri keberadaanku di Sastra Indonesia. Banyak sekali mahasiswa asing yang masuk dan ikut belajar di kelasku. Dari mereka aku belajar arti kesungguhan. Aku sering memperhatikan, mereka serius sekali saat dosen sedang menjelaskan. Mereka tidak segan untuk langsung bertanya ketika ada kata-kata yang tidak mereka pahami. Setelah itu, langsung mereka catat. Pun saat membaca, ketika ada kata yang tidak mereka pahami, mereka langsung membuka kamus atau alfalink. Hmmm, tidak heran ya, mahasiswa asing cerdas-cerdas. Cara belajarnya memang luar biasa sekali.
Ah, satu lagi. Saat itu salah satu temanku bercerita, Junpei adalah mahasiswa yang tidak mau terlambat meskipun sedetik. Ketika itu, Junpei sedang makan siang dengan temanku. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 13.00, tetapi makanan yang dipesan oleh Junpei belum datang. Ketika tak lama kemudian makanan tersebut datang, Junpei langsung menyantapnya dengan cepat, padahal makanan tersebut masih sangat panas—saat itu dia memesan soto. Ketika ditanya oleh temanku kenapa terburu-buru, Junpei menjawab, “Saya ada kelas jam 13.00, sebentar lagi masuk dan saya tidak mau terlambat.” Hmm.. aku yang mendengar ceritanya saja berdecak kagum. Tidak heran kalau Jepang jempolan, kalau semua orang-orangnya disiplin seperti Junpei.
Nah, pelajaran apa yang bisa diambil? Tentunya, kesungguhan dalam menuntut ilmu. Seperti kata pepatah, man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh, ia yang akan dapat. Jadi, jangan mau kalah dengan orang asing ya (: keep spirit ^^
Comments
Post a Comment