Semangkuk Nasi Kecap
Malam itu, aku akan pulang. Keramaian
stasiun Pasar Senen tak menghalangiku untuk pergi berkeliling untuk sekedar
mencari makan malam. Bersama Fadhil, aku berjalan-jalan sampai terlihat seperti
orang konyol karena bolak-balik dan mengomel tidak jelas. Tapi, Allah lagi-lagi
menegurku malam itu. Dalam balutan hujan yang hanya sekian menit, pelajaran
Allah tersampaikan.
Aku cukup sulit untuk membeli
makanan di tempat umum. Aku seringkali takut membeli makanan yang berbau atau
sekedar mengandung daging. Apakah itu ayam, atau soto ayam, aku tetap tak
yakin. Akhirnya daripada ragu, aku memutuskan untuk mencari makanan yang tidak
mengandung daging sama sekali. Kami—aku dan Fadhil berjalan ke sana kemari
mencoba mencari makanan yang cocok. Sebetulnya, Fadhil memang tak berniat makan nasi malam itu. Dia ingin makan roti. Yah, tapi karena di baik hati dan
tidak sombong, dia dengan sabarnya menemaniku mencari makan*eaaa
Sampai akhirnya, aku melihat ada
tahu dan tempe di tempat seorang Ibu yang di gerobaknya bertuliskan lele. Oh,
rupanya tidak hanya jual lele saja. Buktinya, ada tahu dan tempe. Karena seketika
aku yakin, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dan memesan makanan untuk
dibungkus.
Tak lama setelah aku memesan, hujan
turun perlahan. Dan pelajaran kehidupan itu tersampaikan.
Ibu yang berjualan itu, memiliki
anak. Laki-laki. Umurnya sekitar 4-5 tahun. Aku kurang tahu apa yang
dilakukan anak itu di sana, tetapi ada saat dimana ia mondar-mandir dan seketika
ibunya langsung menjewer dan memarahinya. Aku dan Fadhil sama-sama melihat
keadaan itu. Hingga akhirnya Fadhil berkomentar bahwa beberapa anak yang ia lihat selama kami berjalan mencari
makan tadi, juga begitu. Dididik dengan kekerasan. Lalu aku tersadar. Oh,
Allah. Ini sudah malam. Sudah pukul 9 lebih. Anak-anak seumurannya seharusnya
sudah tidur lelap saat ini. Menikmati hangatnya kamar dan empuknya kasur busa. Tapi
ia? Masih di sini, di pinggir jalan, dalam kondisi hujan dan gelap serta
keramaian yang tiada habisnya.
Kemudian, anak tersebut mengambil mangkok.
Diisinya dengan nasi sedikit demi sedikit. Mataku berkaca-kaca. Apa yang akan
ia lakukan? Awalnya kukira ia hendak mengambilkan nasi untukku. Ah, ternyata ia
hendak makan. Selesai mengambil nasi, ia meminta kecap pada ibunya. Seperti anak
kecil pada umumnya, ia cerewet sekali ketika meminta kecap. Dan, ya, lagi-lagi
ibunya membentaknya. Setelah itu, ia
duduk dan mulai memakan semangkuk nasi kecap tersebut. Aku menatapnya
lekat-lekat. Kuelus kepalanya sambil tersenyum dan bertanya, “ga pake lauk?”
dan anak itu hanya malu-malu menggeleng atas pertanyaanku. Oh, Allah. Terima kasih
sudah menegurku lagi. Aku dan anak itu sama-sama kelaparan malam ini. Tapi aku sungguh
tanpa malu mengeluh ini itu karena lelah, pusing, mengantuk, serta tak
kunjung menemukan makanan yang pas. Sedangkan anak itu? Ia masih harus terbangun
di malam yang dibalut hujan. Masih harus menyaksikan keramaian dan lalu lalang orang-orang di sekitarnya. Masih harus mengenyahkan rasa lapar hanya dengan semangkuk nasi kecap.
Sungguh lagi-lagi aku diajarkan
tentang larangan mengeluh. Ya, aku tau aku lelah. NLC yang berlangsung selama
seminggu cukup membuat sekujur badanku pegal-pegal. Perjalanan menuju stasiun
malam itu juga cukup membuatku lebih banyak diam karena lapar dan lelah. Tapi,
anak itu menjadi perantara pelajaran kehidupan yang Allah sampaikan padaku. Bahwa masih banyak orang-orang yang
kondisinya jauh lebih sulit. Jauh lebih tidak enak. Sehingga, tidak
semestinya aku mengeluh ini-itu.
Sembari menunggu pesananku, aku
berkata dalam hati, Dek. Aku yakin, kelak
kamu akan menjadi orang besar. Percayalah. Kemudian aku mengelus sekali
lagi kepalanya sebelum aku benar-benar pergi dari sana. Dan, hujanpun berhenti.
Menyisakan pelajaran kehidupan yang singkat diantara deru keramaian stasiun
Pasar Senen malam hari.
Jakarta, 7 Agustus 2016
Hiks hiks.. Mengena
ReplyDeleteCerita kisah inspirasi di pondok dong
ReplyDelete