Apakah Bapak Sudah Makan?

21 Agustus 2016


Selamat pagi, pembaca. Alhamdulillah sudah lumayan membaik nih meski masih batuk-batuk. Hehe. Sepulang dari Jakarta aku dan beberapa teman seasrama pada sakit, jadi kurang produktif untuk menulis. Maafkan ya, Pembaca.

Pagi ini aku akan menuliskan sebuah kisah yang sangat sederhana. Kejadiannya di malam hari, hanya di sebuah pertigaan yang tidak jauh dengan asramaku. Penasaran? Yuk baca :D
oh ya untuk fotonya menyusul ya. Hehe.


Jadi, malam itu, aku lagi-lagi bingung hendak makan apa. Di dekat asramaku tidak ada model warung makan prasmanan—yang biasanya ada menu sayurnya. Di dekat asramaku yang banyak ada adalah warung makan penyetan, burjo, dan kalau malam hari biasanya penjual nasi goreng. Sebetulnya ada warung makan model prasmanan, tapi letaknya agak jauh dari asramaku, dan karena saat itu sudah malam—menjelang isya, jadi aku pikir pasti warung tersebut sudah tutup karena makanan dan sayurnya sudah banyak yang habis. Akhirnya setelah menimbang-nimbang akan makan apa, aku memutuskan untuk membeli tempe penyet saja di ujung pertigaan dekat asramaku. Kalian harus tahu, pertigaan itu meski sempit, tapi ramai sekali. Sangat ramai. Aku sampai tak habis pikir. Sepertinya seluruh sudut kota Jogja itu ramai ya?

Sampai akhirnya aku memusatkan perhatianku pada satu sosok. Sosok yang berseragam semacam polisi, tapi bukan. Membawa tongkat merah menyala, seperti yang juga biasa dibawa seorang polisi. Aku tidak tahu kalian menyebutnya sebagai apa, tapi yang aku tahu keluargaku biasanya menyebut petugas yang mengatur jalan seperti itu dengan sebutan Pak Ogah. Entah bagaimana sejarahnya, aku juga kurang tahu.

Suara peluit yang ditiup pak Ogah di tengah pertigaan itu sedari tadi tak berhenti. Terus menerus berbunyi karena memang kendaraan yang lewat tak kunjung habis. Tangannya terus menerus melambaikan ke sana kemari mengatur jalanan yang entah mengapa malam itu ramai sekali. Lalu tiba-tiba senyumku mengembang ketika melihat sebuah mobil pick up yang menyebrang memberikan selembar uang kepada Pak Ogah tersebut.

Aku tidak tahu, apakah orang-orang seperti Pak Ogah itu bekerja secara cuma-cuma atau memang dibayar. Kalau memang dibayar, itu bagus. Tapi kalau cuma-cuma? Ah, aku terenyuh. Kemudian aku ingat bagaimana ayahku selalu memberi uang kepada petugas jalanan macam Pak Ogah tersebut. Kata ayahku, mereka sudah sangat baik sekali membantu kita mencari jalan. Mereka akan senang sekali kalau kita memeberi uang, meski tak banyak. Terlepas dari pengetauanku mengenai bagaimana sistem pembayaran bagi pekerja seperti Pak Ogah, aku sangat terharu melihat kejadian pemberian uang tadi.

Aku jadi berfikir. Kalau betul Pak Ogah bekerja secara cuma-cuma, atau katakanlah dibayar tapi tidak seberapa, lalu aku ini kurang apa? Sambil duduk menunggu pesanan, aku terus menerus mengamati. Sungguh tidak berhenti gerakan tangannya barang sedetikpun. Apakah bapak itu sudah makan? Apakah hingga larut malam nanti bapak itu akan terus tetap di situ? Bagaimana dengan keluarganya? Aku terus menerus mengajukan pertanyaan seperti itu dan akhirnya membuatku lagi-lagi belajar.

Beberapa hari yang lalu, adalah hari yang cukup melelahkan. Entahlah. Mungkin karena posisiku juga sedang sakit, segala kegiatan menjadi terasa berat. Tapi malam ini, aku disadarakan oleh seorang bapak petugas jalanan yang tidak berhenti kesana kemari mengatur jalanan. Hingga malam hari. Dengan meniup peluit, dengan melambai-lambaikan tongkatnya yang merah menyala. Aku tidak harus seperti itu bukan untuk bisa hidup? Aku tidak harus terus menerus meniup peluit, aku tidak harus berdiri dan berjalan kesana kemari, aku tidak harus melambai-lambaikan tongkat seperti itu bukan? Tidak. Aku beruntung sekali sudah bisa mengendarai motor jika ke kampus, aku bisa membeli makan meski juga seadanya. Aku bisa makan sebelum larut, aku bisa tidur dengan enak di asrama. Sedangkan Bapak itu? Apakah sudah makan? Kapan ia akan tidur kalau jalanan akan terus ramai hingga larut malam nanti? Ah, tiba-tiba aku jadi rindu berjalan kaki.
Aku termasuk salah satu orang yang sangat cinta dengan jalan kaki. Mengapa? Karena dengan berjalan kaki, aku akan lebih banyak mengamati sekitar. Melihat hal-hal kecil yang biasanya justru membawa hikmah dan pelajaran besar. Kalau naik motor, aku sangat jarang melihat sekitar karena fokus berkendara dan melihat ke depan. Mungkin untuk weekend, aku kan lebih banyak berjalan kaki dan mengeksplor daerah di sekitarku.

Lalu pelajaran apa yang bisa diambil? Yah, lagi-lagi tentang perjuangan, sabar, dan syukur. Kalau kata Bapak Sandiaga Uno, kunci hidup ya hanya 2S. Sabar dan Syukur. Allah sudah sangat baik dengan sering memberi kita kode melalui hal-hal kecil di sekitar kita. Tapi, kitanya saja yang sering tidak peka. Semoga ke depan, kita bisa sama-sama lebih peka terhadap kode Allah ya J


Seringkali, hal-hal kecil di sekitar kitalah yang justru memberikan banyak hikmah dan pelajaran.

salam #MudaMenginspirasi !

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Rumah Kepemimpinan 15: Menjadi Pasangan Strategis, Kenapa Tidak?

Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!

Kisah Inspiratif 5 (Dekat-dekat dengan Orang Soleh dan Hebat)