Catatan Rumah Kepemimpinan Spesial NLC 2016 (Part 1) : Hujan dan UI Menjadi Saksi
Karena kemaren sudah diawali dengan
kisah semangkuk nasi kecap, sekarang saatnya berbagi keseruan selama NLC 2016
:D
Cerita ini nantinya akan sangat
panjang. Karena agenda NLC 2016 ini terselenggara selama seminggu, dari
pagi-sore dengan berbagai macam kegiatan yang tidak ada hentinya. Jadi, bisa
bayangkan akan sepanjang apa cerita ini nanti? Simak saja lah. Haha
Sore hari Senin 1 Agustus 2016, Kami—aku
dan teman-teman regional 3 Yogyakarta bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Kami
berkumpul di asrama Srikandi dan menyimak nesehat eyang sebelum benar-benar
meninggalkan kota Istimewa ini. Tepat pukul 5 sore, akhirnya kami berangkat.
Aku tidak akan terlalu detail
menceritakan setiap detik yang kami lewati. Hanya beberapa poin yang kurasa waw dan perlu untuk kuceritakan. Dan
pada bagian 1 ini aku akan menceritakan tentang bagaimana hujan dan UI menjadi saksi atas hangatnya persaudaraan Nakula dan Srikandi.
Siang itu, kami berencana untuk
mengadakan latihan Haflah (semacam pentas seni) sekali lagi, sebelum kami semua
benar-benar disibukkan dengan agenda NLC yang begitu padat. Akhirnya, tepat
setelah sholat ashar, kami berangkat bersama-sama menuju Universitas Indonesia
untuk melaksanakan latihan haflah. Ada beberapa kendala selama perjalanan. Ya,
kami tidak hafal jalan dan lokasi-lokasi fakultas yang ada di UI. Jadi kami
sempat nyasar dan bolak-balik saat akan menuju tempat latihan kami, yakni taman
Firdaus. Karena kejadian nyasar itulah, akhirnya kami baru bisa melaksanakan
latihan pukul setengah 5 sore. Padahal, setelah maghrib kami sudah harus
berkumpul di asrama kembali, guna mengikuti pembukaan NLC 2016.
sumber : Ridha |
Oh ya, sebelum latihan, kami makan
roti terlebih dahulu. Aku kurang tau roti itu dari siapa, yang jelas kami semua
pada akhirnya justru tampak seperti orang-orang yang akan bertamasya. Duduk
santai di atas rumput sambil makan roti. Aku mengamati wajah teman-temanku satu
persatu. Bahagia sekali ya? Tanyaku
dalam hati. Semoga hingga 22 bulan ke depan kami masih bisa terus seperti ini.
Setelah kenyang,kami bersiap untuk
latihan. Saling membantu satu sama lain mulai dari memberi komentar dan masukan
untuk para pemain, sampai membuat tulisan RK 8 diatas kain backdrop. Hingga tak terasa, tiba-tiba langit mendung. Dan rintik
hujanpun turun satu-satu.
Mau tidak mau, akhirnya kami
memutuskan untuk pulang. Dengan sedikit berlari, kami berdoa semoga hujannya
tidak turun terlalu deras. Tapi Allah berkehendak lain. Beberapa meter sebelum
tiba di halte bus, hujan turun begitu deras. Aku dengan susah payah berusaha
berlari sekencang mungkin. Baju yang kubawa tidak banyak. Dan aku tidak
memikirkan akan turun hujan selama di Jakarta. Tapi, mau bagaimana lagi. Bajuku
tetap saja basah.
Sumber : Ridha |
Sesampainya di halte, rupanya sudah
banyak sekali orang di sana. Penuh. Akhirnya, aku hanya bisa berdiri di pinggir
halte, sambil berusaha merapat ke tengah agar tak terkena hujan. Nah, di
sinilah hangat persaudaraan itu ada. Salah seorang temanku yang ada di dalam
halte, memintaku untuk gantian. Katanya, dia saja yang di pinggir, dan aku di
dalam, agar tak terkena hujan. Aku tidak masalah sebetulnya terkena hujan.
Bahkan kalau membawa baju lebih, aku akan senang sekali bisa hujan-hujanan.
Tapi aku tau, kami ini saudara yang sudah seharusnya saling menjaga.
Tak lama, bis kuning yang kami
tunggu pun tiba. Tapi, penuh. Dan di sinilah hangat persaudaraan itu terjadi
lagi. Para akhwat dipersilahkan masuk dan pulang terlebih dahulu, dengan ditemani
dua orang ikhwan. Namun karena memang sudah penuh, tidak semua dari kami naik
ke dalam bis. Akhirnya beberapa dari kami menunggu kedatangan bis berikutnya.
Dan ketika sudah datang, lagi-lagi para ikhwan mempersilahkan akhwat untuk masuk
terlebih dahulu. Pun ketika sudah di dalam bis, mereka—para ikhwan memastikan
bahwa semua akhwat sudah mendapatkan tempat duduk, sedang mereka sendiri
berdiri. Yah, walaupun sepele, biasa, dan sederhana, aku merasa terharu. Kami
ini saudara. Meski para akhwat adalah para perempuan tangguh, para ikhwan tetap
saja memastikan bahwa kami mendapat tempat duduk. Aku mau saja berdiri. Tapi
kami ini saudara. Sudah seharusnya saling menjaga satu sama lain.
Sudah selesai? Belum. Tiba di halte
tempat kami harus turun, para ikhwan memastikan bahwa akhwat sudah semuanya
turun dan tidak ada yang tertinggal. Kemudian kami harus melewati jembatan
layang untuk bisa mencapai seberang. Di sinilah hangat persaudaraan itu terulang
kembali. Kondisi jembatan layang yang sudah agak rusak, membuat beberapa dari
akhwat agak ketakutan juga. Tapi kalian tau? Di beberapa pos di jembatan layang
tersebut, ada ikhwan yang menjaga dan memastikan bahwa kami—para akhwat
baik-baik saja. Bahkan ada bagian jembatan yang berlubang kecil yang dijaga
oleh satu ikhwan, agar kami para akhwat tak melewati bagian tersebut. Hei,
kalau siang hari dan kondisi baik-baik saja itu biasa. Tapi ini? Kami tengah
diguyur hujan deras. Cuaca sudah gelap dan udara sekitar begitu dingin sedang
kami harus segera tiba di asrama untuk persiapan acara selanjutnya. Tapi
sungguh hangat persaudaraan dan kepedulian untuk saling menjaga satu sama lain
ini membuatku terharu. Dan itu, belum usai.
Puncaknya adalah ketika kami sampai
di gerbang asrama. Karena hujan turun begitu deras, kacamataku basah dan itu membuatku
sulit untuk melihat. Aku tak tahu siapa yang berdiri di dekat gerbang itu. Aku
tidak tahu sosok siapa yang dengan tulusnya menghitung satu persatu dari kami
yang masuk sambil berlari melawan hujan. Aku hanya mendengar suaranya. Suara
tulusnya yang memastikan bahwa kami semua ber-60 sudah tiba di asrama dengan
selamat. Allah, lalu bagaimana caraku untuk bersyukur telah Kau beri saudara
yang begitu tulusnya?
Lalu aku tersenyum penuh haru. Kami
hidup bersama-sama. Menjalani 22 bulan yang pastinya tidak mudah. Penuh
rintangan, kesulitan, luka, dan air mata. Tapi Allah dengan baiknya memberi
kami saudara yang akan membersamai perjuangan ini sampai surga. Sungguh bersama
kesulitan ada kemudahan, sungguh bersama tekad juang Rumah Kepemimpinan ada
saudara yang senantiasa menjaga satu sama lain dengan tulus dan penuh kepedulian.
Sumber : Muthia |
Nakula dan Srikandi 8, hujan dan UI menjadi saksi hangatnya persaudaaraan kita yang abadi. Sampai mati.
Sampai di Surga nanti.
Baru saja berakhir
Hujan di sore ini
Menyisakan keajaiban
Kilauan indahnya pelangi
Tak pernah terlewatkan
Dan tetap mengaguminya
Kesempatan seperti ini
Tak akan bisa di beli
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Melawan keterbatasan
Walau sedikit kemungkinan
Tak akan menyerah untuk hadapi
Hingga sedih tak mau datang lagi
Bersamamu kuhabiskan waktu
Senang bisa mengenal dirimu
Rasanya semua begitu sempurna
Sayang untuk mengakhirinya
Janganlah berganti
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
janganlah berganti
janganlah berganti
Tetaplah seperti ini
Comments
Post a Comment