Catatan Rumah Kepemimpinan 4 : Kami, Saudara sampai Surga
26 Juli 2016
Selamat malam, Pembaca J
Pernah melewatkan momen yang sangat ajaib dalam waktu kurang
dari 5 menit? Kalau pernah, akupun juga dan itu baru saja terjadi, dua hari
yang lalu.
Kalian harus tahu, cerita ini sangat panjang. Dan dalam
perjalanan sepanjang cerita ini, sejujurnya sangat melelahkan. Tapi sungguh,
lelah atas hal yang bermanfaat itu, lebih dari indah.
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.00 WIB, Kami—peserta
Rumah Kepemimpinan Angkatan 8 sudah bersiap di depan GSP (Graha Sabha Pramana)
dengan seragam merah putih (Laki-laki menggunakan kaos putih, dan perempuan
menggunakan kaos merah) Kami mewarnai pagi hari dengan semangat kekeluargaan
yang luar biasa. Sayang sekali aku tidak sempat mengabadikan momen kekeluargaan
tersebut. Momen saat semua peserta laki-laki memutuskan untuk bersama-sama push up karena salah seorang peserta ada
yang terlambat. Meskipun menurut sebagian orang hal itu biasa saja, tapi
bagiku, itu merupakan salah satu momen yang so
sweet.
Kelompokku :D |
Kami melakukan banyak hal setelah itu. Pemanasan, games, dan
petualangan. Petualangan kami terbagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama, kami
diminta untuk bisa memindahkan karpet ajaib. Setiap kelompok yang rata-rata
terdiri atas 10 orang, harus menaiki karpet berukuran 1x1 meter dan memindahkan
orang serta karpet tersebut ke seberang dengan syarat tidak boleh ada anggota
yang keluar dari karpet tersebut. Setelah berkali-kali mencoba dengan berbagai
macam cara, belum ada satupun dari kami yang berhasil. Akhirnya, dua orang dari
peserta laki-laki mengajukan penawaran. Penawaran yang pada akhirnya lagi-lagi
menjadi momen so sweet (menurutku)
Jadi, pada akhirnya kami menyusun karpet-karpet tersebut menjadi sebuah
jembatan. Lalu kami ber-60 satu persatu melompati karpet-karpet tersebut dan
pindah ke seberang. Yang ada dipikiranku saat itu adalah, kami ini keluarga.
Tidak ada yang sukses sendirian. Kalau satu sukses, semua juga harus sukses.
Dan lagi-lagi, meskipun pihak pengurus hendak memberi hukuman untuk kedua
peserta yang mengajukan penawaran tadi, kami serentak mengatakan bahwa kami
menolak keputusan tersebut. Kami mengajukan usul agar hukumannya ditanggung
semua peserta, bersama-sama.
Tahap kedua, setiap satu kelompok diberi petunjuk untuk
menemukan sesuatu. Petunjuknya gamblang sekali. Sampai-sampai kelompokku nyasar. Tapi, ada pelajaran besar di
tahap kedua ini. Karena nyasar,
otomatis kelompokku harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk bisa menemukan
hal yang sudah diterangkan pada petunjuk sebelumnya. Bahkan kami sempat
istirahat untuk makan bekal dan berbincang sebentar, sebelum akhirnya
melanjutkan perjalanan. Tapi, ada hal yang aku pelajari di sini, yakni jalan
menuju kesuksesan itu banyak. Meskipun tujuannya satu, tapi setiap orang bisa
saja memiliki cara yang berbeda-beda untuk meraihnya. Pun dengan konsekuensinya
masing-masing. Kelompokku memang pada akhirnya harus berjalan lebih jauh dan
sampai lebih akhir dibanding dengan kelompok yang bahkan berangkat setelah
kami. Tapi justru karena itu, kami bisa menemukan banyak hal. Salah satunya, tanpa
disadari sepanjang perjalanan kami telah melakukan safari masjid.
Di masjid Syuhada, tahap 2 |
Tahap ketiga,
lagi-lagi kami diberi petunjuk untuk menemukan sesuatu. Tapi kali ini,
petunjuknya sangat jelas, dan kami bisa langsung menebaknya dimana sesuatu itu
harus kami temukan. Awalnya, aku dan kelompokku ingin menggunakan Trans Jogja
untuk bisa menuju lokasi tersebut. Akan tetapi, dengan berbagai macam
pertimbangan, kami memutuskan untuk tetap jalan saja, dengan terus berkata
“Tenang, dekat kok.” Dalam perjalanan tahap ketiga ini, aku mempelajari
beberapa hal. Pertama, pentingnya tujuan. Apa yang membuat kami terus menerus
berjalan padahal kaki rasanya sudah hampir patah? Tujuan. Kami punya tujuan
yang harus kami capai. Tidak jarang di sela-sela perjalanan terdengar celetukan
(termasuk aku) “Keren ya, bisa jalan sejauh ini. Kayaknya selama di Jogja belum
pernah deh jalan sejauh ini.” Akupun berfikir demikian. Bagaimana bisa? Kami
tidak berhenti meski sekedar untuk duduk atau merenggangkan kaki. Kami terus
menerus berjalan, hingga tanpa terasa sudah menempuh lebih dari 6 km. Kedua,
kebersamaan. Kalau ada pepatah yang mengatakan, If you want to go fast, go
alone. If you want to go far, go together, maka itu benar. Dengan berjalan
bersama-sama sembari berbincang ini itu yang seakan tidak ada habisnya, kami
ringan saja berjalan meski sebetulnya lelah sudah kaki ini untuk menopang.
Pertanyaan-pertanyaan seperti “Masih kuat?” dari pemimpin kelompok atau anggota
yang lain membuat kami sadar, kami ini sedang berjuang bersama-sama. Berjuang
untuk mencapai sebuah tujuan yang besar. Ketiga, rasa syukur. Dengan perjalanan
panjang yang amat jauh dan melelahkan tersebut, kami jadi sadar. Betapa tidak
bersyukurnya kami bila masih saja terus mengeluh di era yang sudah serba modern
ini. Kami tidak perlu capek-capek menuntut ilmu ke kampus karena bisa
menggunakan kendaraan bermotor atau sepeda. Bandingkan dengan generasi di masa
orang tua kami bersekolah? Mereka harus menempuh perjalanan jauh dengan
berjalan kaki, setiap hari. Pulang dan pergi. Lalu, bagaimana bisa kami masih
saja mengeluh dengan segala kemudahan ini? Ampuni kami yang masih sering khilaf
ini, Ya Allah.
Sampai di lokasi tahap tiga, kami diminta untuk melakukan
kegiatan sosial. Kelompokku memilih untuk membuat permainan masa dulu, yakni
engklek. Lalu kami mengajak anak-anak yang ada di sekitar lokasi tersebut untuk
bergabung bersama kami. Masa kanak-kanak memang indah sekali. Aku memperhatikan
bagaimana mereka tertawa lepas dengan ekspresi wajah bahagia yang
sebenar-benarnya. Ada satu sosok juga yang kuperhatikan ketika anak-anak
tersebut asyik bermain bersama kami. Sosok yang ikut tertawa senang ketika
anak-anak itu juga tertawa—meski tampaknya ia lelah. Ya, kami semua pun lelah.
Tapi bermain dan tertawa bersama anak-anak selalu menjadi momen yang indah.
melakukan kegiatan sosial di Taman Pintar, tahap 3 |
Lalu, mana 5 menit yang penuh keajaiban itu? Sudah kukatan
di awal bahwa cerita ini akan sangat panjang sekali bukan? Jadi, tunggu saja.
Seusai tahap tiga, kami lagi-lagi diberi petunjuk untuk
pergi ke sebuah tempat. Dan lagi-lagi, kami berjalan kaki. Rupanya, kami
diarahkan menuju masjid untuk sholat dan istirahat sebentar. Tak lama setelah
itu, kami diarahkan untuk makan bersama. Makan bersama kami cukup unik. Karena
kami harus menemukan harta karun di dalam nasi yang kami makan. Dan kelompokku,
mendapatkan 11 harta karun tersebut.
Seusai makan, kami pikir semua telah selesai. Tapi ternyata,
justru inilah waktu yang paling inti dari sekian panjang perjalanan kami hari
ini.
Diawali dengan membuka harta karun yang telah kami dapatkan
saat makan siang tadi. Rupanya, harta karun tersebut berisi nama teman yang
akan menjadi teman kamar masing-masing dari kami hingga satu semeseter ke
depan. Setelah itu, kami diperintahkan untuk duduk melingkar ber-60. Kemudian salah satu
kakak alumni RK angkatan 7, mas Muhammad Retas Aqabah Amjad memberikan sepatah
dua patah kata. Beliau memberikan kami nasehat mengenai persaudaraan.
Menasehati kami bagaimana seharusnya persaudaraan karena Allah itu.
Mengingatkan kami bagaimana kaum Anshar yang bahkan rela menceraikan istrinya
untuk kemudian dinikahkan dengan saudaranya, kaum Muhajirin. Memberikan kami
wejangan bahwa yang dinamakan saudara itu tidak hanya sebatas mengenal nama dan
asal, tapi tahu dan mengerti sampai ke dalam-dalamnya. Siapa orang tuanya,
bagaimana keluarganya, apa mimpi dan cita-citanya, apa yang ia suka dan tidak
suka, dan sebagainya. Satu kalimat beliau yang kuingat, “Sekarang masih ya ya
ya ya aja gampang. Nanti ga lama lupa, terus ada saudaranya kesusahan, bukannya
bantuin, malah ilang gatau kemana. Apa itu yang namanya persaudaraan?” Terima
kasih mas Retas atas nasehatnya. Tolong ingatkan kalau kami khilaf.
Setelah mas Retas memberi sepatah dua patah kata nasehat,
kami ber-60 dipersilahkan untuk membuat mimpi besar bersama selama di RK. Mimpi
bersama. Bukan mimpi sebagian orang. Tentu tidak mudah kiranya. Hingga akhirnya
kami menemukan mimpi besar kami dan menuliskannya di atas kaos putih, kemudian menandatangani
kaos tersebut satu-persatu.
Setelah itu, ada lagi satu almumni RK, yakni mba Juhainah Intan
Maharani yang memberikan nasehat. Beliau membahas mengenai keterbatasan. Ya,
semua orang memiliki keterbatasan. Tapi bukan keterbatasan itu yang seharusnya
menjadi fokus utama. Fokusnya adalah bagaimana kita bisa melampaui keterbatasan
kita tersebut. Satu kalimat yang kuingat, “Kalau yang buat tugu itu ga
melampaui batas, ga akan ada tugu yang fenomenal seperti sekarang. Kalau Sukarno,
Hatta, dan para pemuda ga melampaui keterbatasan, ga akan merdeka ini Indonesia.”
“Kita ini sudah diberi banyak sekali kelebihan dan kekuatan oleh Allah. Maksimalkan.
Lampaui keterbatasan itu.” Tambah beliau.
Kami semua diam. Meresapi dan memaknai baik-baik setiap kata
yang mba Intan nasehatkan.
Setelah itu, mas Hamdan selaku supervisor kami ganti mengambil alih. Tanpa diduga, mas
Hamdan menyebutkan sebuah nama. Tak lama kemudian kami tau, bahwa peserta yang
tadi namanya disebutkan, tidak mengikuti kegiatan apel perdana tempo hari,
karena khilaf. Kemudian mas Hamdan meminta peserta tersebut untuk meminta maaf
pada kami—seluruh peserta yang lain. Namun ternyata, tidak hanya berhenti
sampai di situ saja.
Tidak ada 5 menit pembaca. Aku tidak menghitung berapa waktu
yang tercatat atas momen penuh hikmah ini. Mas Hamdan memerintahkan seluruh
peserta laki-laki untuk mengambil posisi push
up, dan yang perempuan posisi squat
jump. Bahkan mas Hamdan sendiri dan pembina kami, Bapak Chandra ikut
mengambil posisi push up. Dan..
peserta yang tidak hadir dalam apel perdana karena khilaf tadi diminta untuk menghitung.
Sepuluh hitungan pertama, mataku mulai berkaca-kaca. Bukan, bukan karena kakiku
yang rasanya sudah mau patah tetapi masih diminta squat jump, sungguh bukan. Aku hanya tidak tahu apa yang akan
terjadi bila aku berada di posisinya. Sungguh betapa berharga dan indahnya
persaudaraan itu. Bahkan sampai sekarang kalau mengingat momen itu, aku masih
suka bergetar. Dan tidak hanya sepuluh, Pembaca. Dua puluh hitungan. Yang ada
dipikiranku saat itu hanya, “Ya Allah, bagaimana bisa suatu saat aku membiarkan
saudaraku ikut menanggung rasa sakit yang disebabkan atas kekhilafanku?” dan
diantara hitungan sebelas hingga dua puluh, kulihat mata peserta yang tidak
hadir dalam apel perdana itupun berkaca-kaca. Akhirnya hari itu, ditutup dengan
kalimat mas Hamdan yang sangat menyentuh. “Inilah salah satu bentuk
kekeluargaan. Kalau ada yang tidak ikut agenda dan tanpa izin, yang rugi juga
kalian. Kalau kalian tidak bertanggung jawab atas saudara kalian, maka kalian
semua juga akan merasakan sakit.”
Kakak-kakak Alumni RK |
5 menit yang berharga. 5 menit yang membuat mata kami
berkaca-kaca. 5 menit yang membuat kami benar-benar sadar bahwa ke depan,
kehidupan akan jauh lebih sulit. Namun persaudaraan inilah yang nantinya akan
menguatkan.
Srikandi dan Nakula 8, mari saling mengingatkan di kala
khilaf. Semoga Allah senantiasa menguatkan dan memberkahi perjuangan kami.
Kami, Saudara sampai Surga.
Comments
Post a Comment