Skripsi: Keyakinan dan Kajian yang Rasional
Selamat
sahur, Pembaca. Semoga selalu berkah ya! Aamiin. Kali ini, saya akan mencoba
menceritakan kembali ilmu yang telah saya dapatkan dari seorang guru besar yang
sangat sangat keren sekali, yakni Profesor Heddy.
Sebelumnya,
saya merasa bersyukur sekali bisa kuliah di UGM. Sebab, banyak kegelisahan yang
saya rasakan, tetapi justru kegelisahan-kegelisahan itulah yang membuat saya
mencoba untuk mencari jawabannya dan dari sanalah kemudian saya mendapatkan
banyak sekali pelajaran. Termasuk pertanyaan, masuk UGM, Islam dan Quran saya dikemanain yah?
Secara
khusus, saya berterima kasih sekali pada Mas Hanif, yang telah memberi saya
informasi mengenai kajian yang sangat keren ini, yakni Kajian Intelektual
Profetik. Siapa saja pengisinya? Ooh, mereka semua adalah para cendekiawan
muslim yang sangat keren. Ada Prof. Heddy, ada Ustad Hamid Fahmy Zarkasy, ada
Ustad Adian Husaini. Eh, jangan salah. Ustad Hamid dan Ustad Adian juga seorang
doktor loh. Baiklah, langsung saja masuk ke materinya yah.
Pada
pertemuan sesi pertama ini, Prof. Heddy memberikan materi tentang Paradigma
Profetik Islam―Sebuah Konsepsi. Tokoh yang menggagas paradigma profetik adalah alm.
Prof. Kuntowijoyo, seorang guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Gagasan ini
muncul akibat dipicu oleh 2 hal. Pertama, adanya dua kubu teologi, yakni
teologi konvensional dan teologi transformatif. Teologi konvensional adalah teologi
sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan,
sedang teologi transformatif adalah teologi sebagai penafsiran terhadap
realitas dalam perspektif ketuhanan.
Pemicu
kedua adalah gagasan mengenai Islamisasi Ilmu. Dalam hal ini, Prof. Kunto tidak
menyebutnya demikian, tetapi Pengilmuan Islam atau Secientification of Islam. Kaitannya dengan hal ini, Prof. Kunto
menganggap Islam sebagai ilmu, bukan sebagai agama. Islam sebagai ilmu menurut Prof. Kunto mencakup empat hal, yakni
elemennya seimbang dan menyeluruh, modern, berkeadaban, dan meyakinkan baik
bagi pemeluknya maupun bagi non-muslim. Dari gagasan ini kemudian yang perlu
digarisbawahi adalah, Islam sebagai ilmu
tidak hanya berdasar keyakinan, tetapi juga kajian yang rasional.
Al quran sebagai Kerangka Berfikir
Tiga
poin penting yang menjadi cita-cita gagasan ini adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Nah, tiga hal ini juga yang
terus menerus ditekankan oleh Bang Bachtiar―direktur Rumah Kepemimpinan (lalu seketika
saat itu aku rindu Bang Bach). Prof. Heddy menyampaikan bahwasannya di Barat,
poin transendensi ini tidak ada. Mereka berhenti pada poin liberasi saja. Sebab,
di Barat hal-hal yang metafisik tidak lagi dianggap penting.
Kaitannya
dengan transedensi, umat Islam mestinya
memahami Al quran sebagai kerangka berfikir. Umat Islam memaknai filsafat
kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu. Sebab wahyu adalah ayat-ayat Tuhan
yang memberikan pedoman dalam pemikiran dan tindakan seorang muslim. Pengakuan adanya transendental sama artinya
dengan pengakuan adanya ide murni yang sumbernya dari luar manusia, konstruksi
tentang struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri dan transendental.
Menurut
Prof. Kunto, sumber ilmu pengetahuan Barat adalah akal, sedang sumber pengetahuan ilmu Islam adalah wahyu
dan akal. Unsur wahyu inilah yang membedakan epistimologi Islam dengan
cabang-cabang epistimologi Barat yang besar seperti Rasionalisme atau Empirisme
yang mengakui sumber pengetahuan hanya berasal dari akal atau observasi saja.
Dari pembahasan di atas, tampaklah tugas
besar kita sebagai umat muslim, yakni bagimana
caranya kita bisa menjadi sosok ilmuwan religius. Sosok yang tidak hanya cerdas saja tetapi juga paham dengan agama. “Masukkan
wahyu dalam cara berfikir kita, sebab itulah salah satu cara yang bisa kita
lakukan sebagai salah satu upaya melawan positivisme (berdasar rasio/nalar dan
observasi/pengamatan saja).” ungkap Prof. Heddy.
Tantangan Umat Islam
Sayang seribu sayang, belum banyak
umat Islam yang sadar akan pentingnya paradigma profetik ini, apalagi
menerimanya. Oleh karena itu, saya mengajak pembaca untuk sama-sama menyadari
pentingnya konsep ini, sehingga bisa membuat Islam sebagai ilmu tidak hanya
berdasar pada keyakinan, tetapi juga berdasar pada kajian yang rasional. Begini
contohnya.
Ada sebuah hadits yang menyebutkan
bahwasannya ketika ada lalat di dalam minuman, baiknya adalah dimasukkan sekalian,
baru kemudian dibuang. Mengapa demikian? Sebab, salah satu sayap lalat
mengandung racun, tetapi salah satu sayap yang lain mengandung obat. Nah,
sebagai seorang muslim, bagaimana kemudian kita bisa membuktikan hal tersebut? Di
sinilah tantangannya.
Contoh lain misalnya, hewan yang
disembelih dengan pisau yang sangat tajam dengan memotong tiga saluran, yakni
saluran pernafasan, saluran lewatnya makanan, dan saluran lewatnya darah, akan
jauh lebih baik dagingnya daripada hewan yang tidak disembelih dengan cara
tersebut. Islam mengajarkan hal ini. Akan tetapi kemudian pertanyaannya,
mampukah kita membuktikannya? Mampukah kita melakukan penelitian, membandingkan
bagaimana 50 sapi disembelih dengan cara Islam dan 50 sapi tidak disembelih
dengan cara Islam? Membandingkan 50 sapi yang disembelih dengan pisau yang
tajam dan yang kurang tajam. Ketajaman pisau bahkan bisa diukur(dengan ilmu
Fisika), bukan? Di sinilah kuncinya. Kita
mesti membuat metode dan struktur penelitian yang tepat sehingga hal tersebut
bisa menjadi lebih scientific. Intinya,
Islam, Al quran, dan Ilmu pengetahuan itu sejalan.
Memang, tidak mudah melakukan semua
itu. Butuh metode dan stuktur yang benar, biaya yang besar, dan orang-orang
yang serius untuk melakukannya. Lalu, seketika saya ingat perkataan Ustad Hamid
Fahmy Zarkasy, “Kalau kalian membuat
skripsi sesuai bidang ilmu yang kalian pelajari itu biasa. Tetapi kalau kalian
bisa membuat skripsi sesuai dengan bidang ilmu yang kalian pelajari kemudian
mengaitkannya dengan Al quran, itu luar biasa.”(Lalu seketika saya ingat
tulisan saya tentang menjadi agen muslim yang baik; ada di post sebelumnya).
Woaaa
bergetar badan saya, Pembaca. Seketika saya terharu. Prof. Kunto benar, Prof.
Heddy benar, Ustad Hamid benar. Sebagai muslim, worldview kita adalah Al quran. Kalau hanya belajar Matematika, Fisika, Sastra, dan sebagainya tanpa Al
quran, apa bedanya kita dengan para penganut paham positivisme?
Wallau a’lam bis showab.
Jika ada salah dan kurang dalam tulisan ini semoga Allah ampuni. Semoga,
tulisan ini bisa mencerahkan dan meningkatkan semangat kita semua untuk bisa menjadi
ilmuwan religius, AllahuAkbar!
Mantaaaps bangett
ReplyDelete