Kenangan Ramadhan 3 : Merindukan Kejayaan Islam
Dr.Hamid Fahmy Zarkasy |
Selamat malam, Pembaca. Sudah puasa
hari ke berapa ini? Semoga senantiasa semangat dan istiqomah yah. Kali ini saya
akan membagikan sebuah ilmu yang barusan saya dapatkan tadi pagi dari seorang
yang sangat luar biasa, yakni Dr.Hamid Fahmy Zarkasy. Siapa sih beliau?
Dr.Fahmy Zarkasy adalah direktur
INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations), Jakarta;
sekaligus wakil rektor UNIDA (Universitas DaarusSalaam). Beliau menamatkan
pendidikan S2 (MAEd) dalam bidang Pendidikan di The University of Punjab,
Lahore Pakistan dan S2 (M.Phil.) dalam Studi Islam di University of Birmingham
United Kingdom. Studi S3 (Ph.D.) bidang Pemikiran Islam diselesaikan di
Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) Malaysia.
Pembahasan kali ini bertemakan
“Mengembalikan Semangat Belajar Para Pemenang”. Dr. Fahmy Zarkasy mengawali
pembahasan kali ini dengan sebuah kalimat yang sangat bagus. “Bicara Islam, artinya bicara kehidupan.
Wajah Islam adalah ilmu. Bahkan kata Islam itu sendiri mengandung sebuah ilmu.”
Kita bisa mendekat kepada Allah
dengan dua cara. Pertama, beribadah. Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah
mahdah. Seseorang yang sangat rajin beribadah hingga menjadi ‘abid (ahli ibadah), ia akan sangat
mungkin dekat dengan Allah. Orang seperti ini, ia akan mempunyai ma’rifah dan
biasanya dikarunia karomah
(keistimewaan dari Allah yang tidak dimiliki orang lain). Puncak dari orang-orang
ini dinamakan ‘arif billah. Cara
kedua dalam mendekat kepada Allah adalah melalui ilmu pengetahuan. Menjelaskan
sholat, puasa, zakat secara ilmiah. Puncaknya, orang-orang seperti ini disebut ‘alim ulama. Nah, kemudian yang menjadi
pertanyaan, mana yang lebih tinggi, seorang ‘arif
billah atau ‘alim ulama?
Ternyata jawabannya adalah lebih
tinggi seorang ‘alim ulama. Mengapa
begitu? Sebab, ‘arif billah mendekatkan diri kepada Allah hanya untuk diri
sendiri. Sedangkan ‘alim ulama,
mendekatkan diri kepada Allah dengan mencari Ilmu yang kemudian Ilmu tersebut
dimanfaatkan orang banyak. Inilah mengapa dalam penggalan QS.Al-Mujadalah
ayat 11, bunyinya adalah ‘ilma darojaat. Contoh yang sangat simpel, orang-orang yang menulis
buku. Bisa dibayangkan bagaimana royalti pahalanya? Luar biasa besar. Setiap
bukunya dibaca orang lain, maka pahalanya terus mengalir. Dari orang yang
membaca tersebut kemudian mengajarkannya kepada orang lain, tambah lagi
pahalanya. Sebab itulah seorang ‘alim
mempunyai derajat yang lebih tinggi, ia bisa mempengaruhi jutaan manusia.
Masuk kepada ilmu. Tradisi ilmu di
dalam Islam, sejatinya lebih dahsyat daripada ilmu tasawuf. Sebab, ilmu dalam Islam sumbernya adalah
Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang sangat luar biasa dan
keberadaannya sudah cukup membuktikan bahwa ia adalah sebuah mukjizat. Bila di
masa sekarang kita ingin kembali merintis kejayaan Islam, kuncinya adalah
kembali kepada Al-Qur’an. Apa yang dimaksud dengan kembali kepada Al-Qur’an?
Mengaji? Menghafal? Ya. Tapi tidak hanya
sekadar itu. Umat ini tidak hanya membutuhkan seorang yang hafal Al-qur’an
tetapi juga yang paham isinya. Sebab dikatakan sahabat pada masa Rasul, “Kami tidak melewatkan satu surah pun
kecuali kami telah membacanya, menghafalnya, memahaminya, dan mengamalkannya.”
Luar biasa bukan? Umat butuh seorang yang bisa mencerahkan kehidupan ini dengan
ayat-ayat Al-Qur’an. Caranya, dengan konsen terhadap bidang yang ditekuni,
kemudian masukkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam pembahasannya.
Al-Qur’an adalah sebuah konseptual network. Kata-kata di dalam Al-Qur’an
mengandung makna yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain.
Contohnya, kata tazkiya yang artinya
mensucikan. Di dalam Al-Qur’an, kata tazkiya
ini kemudian ditemukan selalu berhubungan dengan diri atau harta, sehingga ada
mensucikan diri dan mensucikan harta. Karena itulah kemudian mensucikan harta
disebut dengan zakat. Zakat itu sendiri memiliki makna membuang harta
(memberikan sebagian harta yang kita miliki kepada orang lain yang lebih
membutuhkan). Hal ini selaras dengan mensucikan diri berupa sholat, puasa, yang
sejatinya juga membuang, yakni membuang dosa. Nah, ketiga hal tersebut saling
berhubungan, bukan?
Contoh lain, kata insan, basyar, dan rijal. Ketiga
kata tersebut secara otomatis menjelaskan tingkatan-tingkatan manusia. Ketiga
kata tersebut memiliki makna yang sama, yakni manusia, tetapi memiliki
perbedaan kedudukan. Inilah yang kemudian disebut dengan konseptual network.
Kemudian masuk kepada hubungan ilmu
pengetahuan dengan agama. Berfikir tentang penciptaan alam, goal-nya adalah beriman. Seperti yang
disebutkan dalam QS.Al Mujadalah : 11,
"يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ......"
"niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Dalam ayat tersebut terdapat kata
iman dan ilmu. Hal ini sama halnya dengan berdzikir dan berfikir. Antara ilmu
pengetahuan dan agama tidak dapat dipisahkan. Betapa banyak sekarang
orang-orang yang mengatakan, jangan bawa-bawa agama dalam sains. Bagaimana itu?
Padahal jelas di dalam Al-Qur’an, berdzikir dan berfikir adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan atau dikerjakan salah satunya saja.
Ada sebuah nasihat yang sangat bagus
di sela pembahasan ini. “Barangsiapa
mengajar ilmu, maka Allah akan ajarkan padanya ilmu yang belum ia ketahui.”
Masya Allah.. Jadi, jangan tunggu
pintar dulu baru mengajar. Sebab dengan mengajar itulah kemudian Allah akan
mengajarkan pada kita ilmu-ilmu yang belum kita ketahui. Dr.Fahmy Zarkasy menceritakan,
ulama-ulama terdahulu menulis apa-apa yang diajarkan guru-guru mereka, sama
persis. Hafalan dan ingatan mereka begitu kuat. Setelah itu, mereka
mengajarkannya kepada orang lain yang qadarullah
dikemudian hari pun menjadi ulama. Nah,
mestinya kita-kita ini, lepas mengikuti sebuah kajian, ajarkan ilmu yang kita
dapat dalam kajian tersebut kepada orang lain. Begitu seterusnya, sehingga
akan semakin banyak orang yang mengerti ilmu tersebut. Hubungannya dengan
wasiat ilmu, Dr.Fahmy Zarkasy menyampaikan bahwa nilai dari anak yang soleh
dengan ilmu yang bermanfaat adalah sama. Jadi bisa dikatakan melahirkan anak
dengan melahirkan buku itu sama. Kalau tidak punya anak, maka harus punya buku.
Kalau tidak punya buku, maka harus bangun masjid. Bagus lagi, punya anak, punya
buku, dan bisa bangun masjid. Masya
Allah…
Kembali kepada ilmu. Dalam tradisi Islam, pembelajaran sebuah
ilmu asasnya adalah kebermanfaatan. Untuk apa belajar astronomi? Untuk
memudahkan menentukan awal puasa Ramadhan dan waktu sholat. Semuanya kembali
pada kemudahan berislam. Contoh lain, Ibnu Batutah. Beliau adalah seorang traveller muslim yang akhirnya berhasil
membuat peta dunia. Al-Farobi, seorang yang sangat handal dalam memainkan
musik, ia bisa menguasai penonton dengan musik-musik yang dimainkannya. Ibnu
Haitsam, pakar di bidang optik, yang dengannya kita bisa menikmati kamera saat
ini. Pun Ibnu Khaldun, seorang pakar Sosiologi, dan Ibnu Rusyd, ulama yang
menciptakan jembatan antara agama dengan filsafat. Pecapaian umat Islam di
bidang sains ini bahkan mengalahkan pencapaian filsafat di negara-negara
pendahulu seperti Yunani, Romawi, Persia, dll. Nah, lalu, apa kontribusi kita untuk kemajuan Islam? Sudahkah kita
menekuni bidang kita dengan menerapkan nilai-nilai Al-Qur’an di dalamnya?
Begitulah garis besar materi yang
Dr.Fahmy Zarkasy sampaikan pagi tadi. Ada beberapa kalimat-kalimat yang sangat
menarik dan terus membuatku ingat.
“Kalau bikin skripsi soal ilmu yang
dipelajari di kelas, diajarkan oleh dosen, itu biasa. Buatlah dengan
menghubungkannya dengan Al-Qur’an. Sebab semua ilmu sumbernya adalah
Al-Qur’an.”
“Penampilan dosen, lisannya fasih
terhadap ayat-ayat Allah.”
“Ulama dam konteks scientist.”
“Backgroundnya sains, wajahnya ustad,
lisannya qur’an dan sains.”
“Mengaji+memahami+kaitkan dengan
disiplin ilmu yang kita pelajari.”
Sebagai penutup, ada sebuah kisah
yang semoga bisa membangkitkan semangat, utamanya untuk diriku pribadi. Berawal
dari pertanyaan seorang peserta, “Bisakah kita yang sekarang ini menjadi
setaraf ‘alim ulama?”
Dr. Fahmy Zarkasy menjawab, “Bisa.” Hanya
saja, generasi sekarang dengan dulu memang berbeda. “Ayah saya dulu, dari
Ponorogo ke Jogja untuk mendatangi sebuah konferensi Islam. Lepas dari Jogja,
beliau ke Solo jalan kaki, baru kemudian naik bis kembali ke Ponorogo. Orang
dulu itu perjuangannya begitu. Berpayah-payah, kerja keras, makanya sukses. Nah
kalo sekarang ini, menurut penelitian Sosiologi ya, generasinya malas.
Manja-manja. Dari Surabaya ke Jogja saja dianter. Sekeluarga lagi. Enak memang,
tapi yang seperti itu bukan mental
pejuang.” Lantas bagaimana?
“Ya yakin. Usaha yang kuat, kerja
keras. Saya senang dengan program one day
one juz. Tapi masih kurang sebenarnya. Mestinya, one day one juz one tafsir.
Benahi baca Al-Qur’annya, pahami isinya,
belajar tafsir, lalu kaitkan dengan disiplin ilmu yang kita pelajari. Imam
Syafi’I itu kalau belum paham akan sebuah buku, dibaca sekian puluh kali sampai
paham. Begitu juga Ibnu Sina, seorang pakar di bidang Kedokteran ketika membaca
sebuah buku filsafat karya Al-Farobi. Awalnya Ibnu Sina tidak paham. Tetapi kemudian
beliau membacanya sampai 60 kali dan akhirnya paham. Setelah itu, Ibnu Sina
menjadi pakar (juga) dalam bidang Filsafat dan mampu menulis buku filsafat yang
jauh lebih baik dari pada karya Al-Farobi.”
Masya Allah.. luar biasa sekali ya,
Pembaca. Betul-betul harus banyak belajar dari ulama-ulama terdahulu. Semangat
belajarnya masya Allah :’) Sebetulnya masih ada beberapa hal yang dibahas oleh
Dr. Fahmi Zarkasy, Pembaca. Hanya saja aku belum terlalu paham sehingga belum
berani menuliskannya di sini. Semoga yang sedikit ini bermanfaat ya, Pembaca.
Semangat mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan mengajarkannya pada orang lain J Doaku, semoga Allah memberiku
kesempatan untuk bisa bertemu lagi, bahkan belajar dan menjadi murid beliau
(Dr.Fahmy Zarkasy). Semoga kita semua senantiasa Allah mudahkan dalam
mempelajari ilmu-Nya, mengaji dan mengkaji Al-Qur’an, menghafal, memahami, dan
mengamalkan setiap isinya. Aamiin..
Comments
Post a Comment