Belajar dari Ibu Sutar : Saya Sudah Kempot dan Ompong
Tak banyak
pribadi yang mau memperbaiki kesalahan di masa senja. Kebanyakan dari mereka
memilih untuk melanjutkan saja, apa-apa yang sudah pernah didapat tanpa peduli
apakah hal tersebut sudah benar atau masih salah. Namun, lain halnya dengan
sosok ibu yang satu ini. Di usianya yang sudah cukup tua, semangatnya untuk
memperbaiki bacaan Al-Quran tak pernah habis.
Ibu Sutar
namanya. Beliau merupakan salah satu warga dari Padukuhan Plagrak, Desa Wukirsari,
Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Usianya sekitar 60 tahun. Beliau memiliki
2 anak, yakni satu laki-laki dan satu perempuan. Anak laki-lakinya merantau di
Semarang, sedang anak perempuannya tinggal di rumah. Ibu Sutar telah memiliki 2
orang cucu, yang pertama kelas 5 SD, dan yang kedua masih berumur 4 tahun.
Meski
telah memasuki usia lanjut, Ibu Sutar tidak membatasi dirinya untuk terus
belajar. Beliau dengan senang hati datang ke Masjid Plagrak setiap Sabtu malam untuk
belajar iqra’. Bersama teman-teman dari Rumah Kepemimpinan Regional 3
Yogyakarta, Ibu Sutar kembali belajar bacaan Al-Quran dari nol. Kalau ditanya
sudah bisa membaca Al-Quran atau belum, maka tentu jawabannya adalah sudah.
Akan tetapi, masih ada beberapa kesalahan yang mesti dibenahi. Apakah Ibu Sutar
malu? Tidak. Beliau justru senang sekali. Kedatangan teman-teman dari Rumah Kepemimpinan
Regional 3 Yogyakarta memberikan harapan baru bagi Ibu Sutar untuk bisa
memperbaiki bacaan Al-Quran agar menjadi benar dan lebih baik lagi.
Di
tengah tengah pengajaran, Ibu Sutar tertawa karena merasa lucu dengan bentuk
mulut yang benar ketika membaca Al-Quran, lantas menutup wajahnya dengan buku.
“Saya sudah kempot dan ompong, Mba. Malu jadinya.” Lantas beliau tertawa lagi.
Sungguh yang membuat beliau malu bukanlah ketika harus kembali belajar
memperbaiki bacaan Al-Quran dari nol, tetapi karena gigi beliau yang satu
persatu mulai tanggal. Namun, seiring dengan berkurangnya nikmat jasmani
tersebut, Allah memberikan ganti berupa nikmat rohani yang jauh lebih besar.
Wajah beliau amat berseri ketika belajar al quran, suaranya lantang, dan
semangatnya membara.
Siapapun
yang melihat bagaimana Ibu Sutar belajar iqra, tentu akan menitikkan air mata
meski sedikit. Sebab, beliau mengulangi bacaan dari iqra satu. Dari huruf-huruf
tunggal seperti alif, ba, ta, tsa, dan selanjutnya. Apakah beliau belum bisa?
Sudah. Lantas untuk apa mengulang? Untuk memperbaiki bacaan yang dulu sudah diajarkan tetapi
rupanya kurang sempurna. Beliau belajar lagi bagaimana mengucapkan huruf ja
yang benar, huruf ka, huruf ‘a, dan huruf-huruf yang lain.
Ibu
Sutar belajar di Masjid Plagrak bersamaan waktunya dengan anak-anak. Tidak
banyak ibu-ibu yang mau dan bisa seperti ini. Belajar satu tempat dengan
anak-anak kecil yang bisa jadi sudah lebih mahir membaca al qurannya. Tetapi,
Ibu Sutar tidak malu. Beliau mengungkapkan bahwa kehadiran teman-teman dari
Rumah Kepemimpinan sangat berarti bagi beliau. Beliau pun meminta agar
teman-teman dari Rumah Kepemimpinan bisa datang lebih sering, tak hanya satu
minggu sekali. Karena sebetulnya beliau juga belajar mengaji setiap hari. Akan
tetapi, beliau sendirian. Tak ada yang mengajari dan membetulkan jika salah.
Dari Ibu
Sutar kita bisa mengambil hikmah besar bahwa belajar sungguh tidak mengenal
usia. Keriputnya jemari mestinya tak mengahalangi kita untuk bisa terus
belajar. Pandangan yang mulai kabur serta pendengaran yang mulai luntur,
mestinya menjadi saksi atas tekad kuat dan semangat kita untuk terus bisa
memperbaiki diri. Dari Ibu Sutar kita belajar, bahwa hidup bukan tentang cepat
tidaknya menjadi yang terhebat, tapi keras tidaknya perjuanganmu menjadi yang
terbaik.
Comments
Post a Comment