Catatan Keabadian Keluarga Icik

.Perfect.
Selamat sore, Pembaca. Sambil menunggu buka puasa, boleh banget lho, baca tulisan spesial saya kali ini. 

Sebenarnya, Aku tidak begitu ingat bagaimana awal mulanya aku bisa sedekat ini dengan mereka. Yang aku tahu, saat itu Zainal selaku ketua Leadership Project (LP) Rumah Kepemimpinan memberiku tawaran untuk masuk ke salah satu divisi, yakni Pengurus Inti, tepatnya sebagai sekretaris. Dengan sangat jujur, saat itu aku menolak. Bukan karena apa, tetapi aku sudah cukup mabok menjadi sekretaris. Cukup. Aku jenuh menjadi sekretaris. Akhirnya, aku memutuskan untuk bergabung dengan divisi media saja―dengan asumsi akan ada banyak tulisan semacam live report yang aku bisa bantu membuatnya.

Seingatku, dulu aku tidak terlalu kenal dengan Paksi. Aku hanya tau dia anak FK. Itu saja. Apalagi Mumu, karena dia termasuk yang tidak masuk RK sejak awal, aku hanya tahu dia anak PAW, kuliah di Fakultas Teknik. Annisa dan Ulfah, aku tahu mereka dekat. Tapi masa-masa itu aku memang belum kenal betul siapa mereka. 

Ilham Muawwal Subhan
Mumu―begitu nama panggilannya, adalah sosok yang paling dewasa di antara kami. Oleh karena itulah kemudian kami memanggilnya dengan sebutan ayah. Bahkan sampai sekarang, aku tidak cukup bisa memanggilnya dengan panggilan Mumu. Haha. Hal ini dipengaruhi juga oleh berat badan. Lihat saja. Aku, Ulfah, Anisa, dan Paksi kecil-kecil semua. Jadilah Mumu menjadi ayah dari para bocil ini. 

Mumu adalah yang paling bisa menasihati kami. Ayah bangetlah. Saat farewel pun, ia mendapat reward sebagai terayah. Satu hal yang paling kuingat dari Mumu adalah, saat tiba-tiba ia mengajak kami berempat untuk berkumpul. Katanya sih, membicarakan suatu hal yang sangat penting terkait LP. Eh ternyata... malah membuatku menangis. Wkwk. Penasaran? Nanti kuceritakan.


Setahuku, Mumu tidak pernah marah. Ia sering sekali memberi nasihat untuk para bocil yang icik. Tak hanya itu. Jika ada suatu acara bersama, saat pulang, Mumu selalu bertanya apakah aku, Ulfah, dan Anisa sudah sampai asrama dengan selamat. Mumu selalu sabar, selalu tersenyum, selalu bijaksana. Tapi kalau sudah kongkalikong dengan Paksi untuk membully, uwaah tjakep! Wkwk. Tapi memang biasanya yang terkena bully adalah Ulfah. Aku sih bebas. Haha. Keluarganya pun baiiiik sekali. Mamanya sungguh sangat cantik! Ayahnya juga bijaksana. Kadang aku membahasakan mereka di grup obrolan kami dengan sebutan Eyang. Wkwkwk. Alhamdulillahnya kami sudah sempat foto bersama :D Lucu sekali, bukan? Terima kasih, Ayah!


Resa Paksi Mandariska
Paksi, dokter keluarga kami yang sangat judes. Wkwk. Dari awal aku cukup heran dengan Paksi, sebab wajahnya seringkali tidak santai. Aku tidak tahu, mungkin sebenarnya dia mencoba untuk stay cool, tapi di mataku itu menyebalkan. Tetapi setelah lama, ketika dilihat-lihat lucu juga. Haha.
Paksi tidak banyak bicara, tapi banyak muroja’ah. Belakangan aku tahu dia adalah sosok penghafal qur’an yang tangguh. Aku pernah mengecek hafalannya sekali dan, waw. Membuatku malu sebab ia bahkan tahu di mana letak ayat-ayatnya dengan detail, dan aku belum bisa seperti itu. Suara Paksi saat menghafal Qur’an khas sekali. Membuatku senang, sebab Indonesia akan punya calon dokter yang cerdas dan solih seperti Paksi. 

Tidak seperti Mumu, Paksi adalah makhluk yang icik juga dalam keluarga kami. Entah kenapa ia sering membuat kami kesal karena keicikannya. Wkwk. Tapi terlepas dari sikapnya yang menyebalkan, Paksi adalah dokter yang sangat sabar di keluarga kami. Pernah waktu itu, aku, Ulfah, dan Anisa sakit bersamaan. Bahkan sebetulnya Paksi juga sedang sakit saat itu. Tapi dengan sabar ia meladeni pertanyaan-pertanyaanku, memberi obat pada Ulfah dan Anisa, menasihati kami supaya tidak makan dan minum yang aneh-aneh. Haha. Terima kasih, Pakdokcik!  

Ulfah Chorunnisa
Ulfah―Adik semua Nakula-Srikandi. Anak terakhir di keluarga kami. Suaranya gemas sekali, kalian harus mendengarnya. Haha. Satu hal yang paling membuatku kagum dengan bocil yang satu ini adalah, ia tidak pernah sakit, bisa dibilang begitu. Ulfah imut-imut, tapi jiwanya besar dan tangguh. Naiknya mobil, cuy. Wkwk. Bukan eh, bukan itu. Di asrama, Ulfah jarang sekali izin sakit. Apalagi sok-sok sakit. Ulfah kuat sekali, meski deadline dan tugas menumpuk, amanah banyak, dan agenda asrama sedang padat-padatnya. Aku melihatnya sakit beberapa waktu yang lalu, sebelum lulus asrama. Menyedihkan sekali, aku sampai tidak tega. Untung ada dokter kami yang icik tapi baik hati uuw. Sehat-sehat selalu ya, Ulfah. 

Ulfah sering sekali memberiku susu. Membuatku merasa ada yang aneh saat kemarin belajar di kos, seperti ada yang kurang. Ternyata, susu sebagai temanku belajar selama ini, sekarang tidak ada lagi. Hiks. Oiya, aku sering berbagi cerita juga dengan Ulfah, meskipun kadang kurang berfaedah hahaha. Maafkan aku ya, Peh. Kadang menodaimu dengan cerita soal perasaaan-perasaan orang dewasa*lah. Maklum, aku kan anak pertama. Pengalamanku sudah banyak soal itu. Wkwkwk.

Ulfah adalah pribadi yang sangat sabar. Direpoti ini itu, dibully ke sana kemari, haha. Tenang, Peh. Ayah, Paksi, Pees, dan aku membully karena sayang kok. Terlalu gemas sih...

Annisa Nur Purnama Sari
Pees―begitu panggilanya, adalah bocil yang paling labil di antara kami. Wkwk. Tapi, jangan salah. Ia adalah bocil yang paling mau berkorban, sebab seringkali menjadi photographer. Artinya ia sering tidak ikut berfoto bersama. Itulah mengapa keluarga icik senang sekali berfoto sebab dengan begitulah Anisa bisa punya foto bersama juga. Terima kasih, ya! Oh ya, sebetulnya Anisa kurang suka dipanggil pees. Tapi kebiasaan itu agak sulit diubah, ya? Hehe. Maafkan aku karena masih sering memanggilmu pees yah!

Bocil ini juga pembalap sejati wkwk. Mantab sekali kalau mengendarai motor. Aku sudah beberapa kali membonceng Anisa, dan testimoniku adalah keren! Meski agak mengerikan, tapi ia sungguh sangat terampil dalam hal ini. Terima kasih, yah!
Oh iya, Anisa ini kenalannya seabrek! Dimanapun dia berada, ada saja yang menyapa. Maklum, orang penting di mana-mana. Haha. Tapi masih jomblo?*ups. Jangan salah. Anisa punya rencana menikah tahun depan, loh! Mohon doanya supaya dipertemukan dengan pasangan strategisnya segera ya, Pembaca!

Nah, sekarang saatnya bercerita tentang kami berlima.
Ya, aku memang anak pertama. Sebab sebetulnya dari mereka berempat, akulah yang paling tua. Tapi ternyata, aku juga yang paling sering tidak betah di asrama. Wkwk. Allah Maha Baik ya. Memberiku keluarga yang selalu menyemangati di saat energi-energi negatif mulai menyerang. Aku jadi ingat betul, malam itu, kami berencana untuk main. Keluar bersama, refreshing sekali-sekali. Pagi sampai sore aku sudah bahagia betul mengingat kami akan keluar bersama nanti malam. Tapi malang, menjelang isya ada yang berulah―membuat moodku seketika berubah menjadi buruk sekali. Jadilah saat bertemu dengan mereka aku terpaksa menceritakan kegundahan hatiku. Tapi, ajaib! Begitu masuk mall, kami berfoto sepanjang jalan kemudian memesan makan, seketika moodku membaik. Oh, terima kasih, Allah. Engkau menghadirkan mereka di saat yang tepat. Dan itu terjadi tidak hanya sekali. Saat aku mulai kesal sebab diserang energi-energi negatif, selain meminta nasihat kepada beberapa orang, aku juga bercerita dan berbagi dengan mereka, membuatku seketika menjadi lebih baik dan kembali bersemangat.


Terakhir, adalah cerita yang paling mengesankan bersama mereka. Satu hal yang mungkin tidak pernah aku lupa. Ya, saat aku sakit demam berdarah dan terpaksa harus opname di rumah sakit. Saat itu, aku memilih untuk pulang ke rumah, opname di Solo. Keluarga icik berencana untuk menjengukku, tapi tidak jadi. Haha. Tidak papa, aku malah senang sebab kondisi wajahku saat itu sungguh tidak enak dilihat, kucel sekali. Wkwk. Setelah sembuh, aku kembali ke asrama. Dengan niatan yang sudah sangat kuat, akau akan keluar dari Rumah Kepemimpinan. Sudah bicara dengan spv, sudah bicara dengan manager juga kalau tidak salah (?) aku lupa. Intinya, aku tidak tahan lagi dan ingin segera pindah. 

Sampai suatu ketika, Mumu mengajak kami untuk berkumpul. Agenda LP, penting katanya. Kami berkumpul di Extra Hot, Jakal. Awalnya aku senang sekali bertemu mereka, sebab rasanya sudah lama kami tidak berkumpul bersama. Tiba-tiba, Mumu memulai pembicaraan yang intinya adalah memikirkan kembali keputusanku meninggalkan Rumah Kepemimpinan. Seketika aku diam. Kemudian saat diberi kesempatan untuk bercerita, aku menangis. Aih.. ujarku dalam hati saat itu. Merekalah yang mendengar tangisanku yang entah mengapa waktu itu terasa begitu menyakitkan. Mereka lalu diam, menungguku sampai tenang dan berhenti menangis. Sepertinya, mereka juga agak kebingungan waktu itu. Tapi, entahlah. Mereka tidak melarangku untuk pergi, tidak memaksaku untuk tetap tinggal, tetapi juga tidak membiarkanku hilang begitu saja. Satu hal yang kemudian membuatku berfikir, segalanya sudah dimulai dengan baik, mestinya diakhiri dengan baik pula.

Keluarga icik, terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Aku bukan orang yang romantis. Sedikit tulisan ini semoga menjadi saksi abadi bahwa kalian pernah membuatku bangkit di saat paling jatuh selama tinggal di asrama Rumah Kepemimpinan. Aku berdoa pada Allah yang Maha membolak-balikkan hati, supaya perasaan sayangku pada kalian tak pernah berganti. Tidak pernah berubah menjadi benci. Terus dalam ikatan persaudaraan penuh kebaikan dan saling menasihati. 


Selamat berjuang di jalan dakwah, Keluarga Icik. Cukuplah Islam menjadi alasan dan tujuan atas jalur apapun yang kalian ambil. Maka saksikanlah, bahwa kami ini adalah seorang muslim. Selamat berjuang menjadi agen muslim terbaik, Keluargaku!

Nb: gelasnya disimpan, yah!

Comments

Popular posts from this blog

Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!

Catatan Rumah Kepemimpinan 15: Menjadi Pasangan Strategis, Kenapa Tidak?

Kisah Inspiratif 5 (Dekat-dekat dengan Orang Soleh dan Hebat)