MENJADI AGEN MUSLIM TERBAIK = THE POWER OF AND

Salah satu cerminan agen muslim yang baik
Selamat Pagi, Pembaca.
Pikiran saya tentang ini sebetulnya sudah muncul sejak banyaknya komentar tentang film Ayat-Ayat Cinta 2. Salah satunya adalah komentar terhadap tokoh Fahri yang tampaknya terlalu sempurna. Saya juga sudah menonton, tapi bukan itu yang menjadi komentar saya. Karena gregetan, akhirnya saya memutuskan untuk membeli novelnya, sekalian untuk objek tugas akhir. Hehe. Setelah membaca novelnya, saya terhenyak. Luar biasa bagus. Sejak itu, pandangan saya terhadap tokoh Fahri hanya satu. Fahri adalah cermin agen muslim yang sangat baik.
Sebelumnya, saya ingin menyatakan bahwa tulisan ini tidak lain dan tidak bukan adalah reminder bagi saya sendiri, sekaligus ajakan bagi Pembaca sekalian. Jadi, tidak ada maksut menggurui sedikitpun.

Beberapa waktu yang lalu, Bang Bachtiar―direktur Rumah Kepemimpinan, datang ke Yogyakarta. Beliau menyampaikan materi kepemimpinan profetik. Saat sesi tanya jawab, ada salah satu jawaban Bang Bachtiar yang mengingatkan saya pada konsep the power of and.
Mana ada orang seperti Fahri. Hafal Al quran, tampan, kaya, akademik bagus, bisnis bagus, agama bagus, interaksi dengan tetangga bagus, semuanya bagus, sempurna. Membaca pernyataan itu, saya jadi berpikir. Bukankah seharusnya muslim memang seperti itu? Bukankah Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam?

Di dalam novel diceritakan bagaimana Fahri menghabiskan waktunya setiap hari. Dini hari, Fahri sudah bangun untuk sholat tahajjud. Pagi hingga siang ia gunakan untuk mengajar di universitas, bertemu, rapat, atau diskusi dengan orang-orang penting. Sore hari, ia gunakan untuk mengecek perusahaan butik milik Aisha―istrinya dan mengecek minimarket. Maghrib ia habiskan untuk sholat berjamaah, mengaji, muroja’ah hafalan qur’an, dan bercengkrama di masjid. Malam hari Fahri membaca kitab, menulis buku, muroja’ah hafalan qur’an lalu berdzikir sampai tertidur. Fahri bangun pukul setengah 4 pagi dan tidur pukul 12 malam. Ia juga tidak lupa mengecek nenek Catarina, tetangganya yang sudah cukup tua. Ia menyapa orang-orang di sekitarnya, berbuat baik pada setiap orang bahkan tetangga yang memusuhinya. Waktunya dihabiskan untuk kebaikan.

Fahri disiplin, tegas dengan mahasiswa bimbingannya. “Maaf, saya tidak bisa. Lebih baik cari pembimbing yang lain saja” Begitu kata Fahri ketika mahasiswa bimbinganya belum selesai mengerjakan tugas. Fahri juga menjalankan amanah Prof. Charlotte dengan sangat baik, dengan cara yang sangat cerdas.

Itu hal-hal besar. Hal kecilnya? Fahri selalu tampil segar dan rapi. Fahri selalu berdzikir atau murojaah di perjalanan dari rumah menuju kampus. Fahri selalu siap ketika mengajar. Materi selalu ia kuasai dengan baik. Hal ini terbukti saat Fahri berbicara di Oxford Debating Union. Jawabannya sangat lengkap, tepat, memukau, dan memuaskan.

Pertanyannya, apakah itu mudah bagi Fahri? Jelas tidak. Raganya lelah, jiwanya dipenuhi kerinduan pada istrinya, Aisha. Akan tetapi ada sebuah pesan yang amat mendalam dalam novel tersebut. “Paman, inilah yang sedang saya lakukan. Sudah saya lakukan sejak saya mengambil doktor di Jerman. Jika orang Jerman melakukan penelitian empat jam sehari, maka saya harus delapan jam. Di sini, jika riset untuk postdoc biasanya selesai dalam waku dua tahun, maka saya harus bisa lebih cepat dari orang-orang pada umumnya, dengan kualitas yang lebih baik atau minimal sama. Masih ada waktu setengah tahun lagi bagi saya untuk menyelesaikan riset, Paman. Tetapi saya ingin malam ini selesai dan besok sudah saya print dan saya serahkan kepada pihak kampus.”
“Saya tidak muluk-muluk bisa menyampaikan keindahan Islam pada semua orang di Britania Raya yang salah paham kepada Islam. Tidak, Paman. Saya tidak muluk-muluk. Cukuplah bahwa saya bisa menyampaikan akhlak Islam dan kualitas saya sebagai orang Islam kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya, jika saya bisa, itu saya sudah bahagia.”
Cukuplah bahwa saya bisa menyampaikan akhlak Islam dan kualitas saya sebagai orang Islam kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya,
Inilah yang kemudian membuat saya bergetar. Bisakah kita menjadi seperti Fahri?

Satu. Mulai dari hal yang sederhana. Kebersihan dan kerapian. Apa yang akan menjadi penilaian orang ketika seorang muslim bahkan tidak bisa membersihkan tempat tidurnya sendiri? Tidak berpakaian rapi, bersih, dan wangi?

Dua. Kedisiplinan. Apa yang akan menjadi penilaian orang ketika seorang muslim bahkan tidak bisa bangun pagi sendiri untuk sholat Subuh? Tidak bisa datang tepat waktu? Terlambat mengumpulkan tugas?

Tiga. Pemahaman dan pengamalan  agama yang mendalam. Apa yang akan menjadi penilaian orang ketika seorang muslim tidak paham dengan persoalan keagamaan?


Empat. Amanah. Apa yang akan menjadi penilaian orang ketika seorang muslim tidak bisa melaksanakan amanah dengan baik?
Lima. Pengetahuan yang luas dan komprehensif. Apa yang akan menjadi penilaian orang ketika seorang muslim tidak paham dengan persoalan ilmu pengetahuan dan teknologi?

Pembaca, mari renungkan lima hal ini bersama-sama. Saya juga sedang belajar.

Pertama, kebersihan dan kerapian. Saya belajar untuk selalu bersih dan rapi dalam hal apapun, mulai dari tempat tidur, kamar, tempat tinggal, buku-buku, juga pakaian. Kadang saya lupa, tetapi ikhtiar terus saya lakukan. Saya akan mengambil contoh dari kakak saya sendiri. Kakak perempuan saya, luar biasa rapi. Helm ada tempatnya sendiri, pun kunci motor. Saya belajar darinya juga soal berpakaian. Kakak saya mempunyai tempat khusus untuk meletakkan jilbab, kaos kaki, masker, juga manset. Ada juga tempat khusus untuk tas dan sepatu. Baju muslim dipisah dengan baju rumah, jaket, dan baju khusus untuk mendatangi acara besar. Dari kakak saya, saya tahu. Segala sesuatu yang rapi membuat pemandangan jadi lebih indah dan pikiran jadi lebih tenang. Tidak ada istilah kelabakan mencari kunci motor atau bingung di mana meletakkan helm. Segalanya ditata dengan sangat rapi. 

Kedua, kedisiplinan. Saya berusaha selalu tepat waktu, baik menghadiri acara maupun mengumpulkan tugas. Saya kadang terlambat. Tetapi saya terus berikhtiar untuk bisa tepat waktu. Saya belajar soal ini dari ayah saya dan salah seorang ustad saya di pondok. Saat SD, saya terlampau asik bermain, padahal ayah saya sudah menjemput. Lantas ayah saya bilang, “Kok lama sekali, bapak nunggu dari tadi..” Sejak itu saya tahu, baik menunggu maupun membuat orang menunggu itu sama-sama menyakitkan. Lalu, dari salah satu ustad saya di pondok, yakni Ustad Yunus saya juga belajar. Beliau pergi ketika kami (saya dan teman-teman seangkatan) tak kunjung memulai acara. Dari situ saya belajar, membuat orang lain kehilangan waktu adalah salah satu bentuk kedzoliman.

Ketiga, pemahaman dan pengamalan  agama yang mendalam. Saya berusaha menjaga hafalan, sedikit-sedikit. Saya berusaha sholat sunnah, meski belum rutin. Saya berusaha sholat tepat waktu, berinfaq, dan menyebarkan kebaikan. Saya kadang lupa, tapi sekali lagi, saya akan terus berusaha, utamanya untuk bisa menambah pemahaman dan amalan keagamaan saya. Soal ini, saya belajar dari teman-teman saya. Ada Resa Paksi, yang muroja’ah hafalan quran saat perjalanan dari asrama ke kampus. Ada Mas hanif, yang mengaji sambil menunggu acara dimulai. Ada Tamara, yang membaca al ma’tsurat sebelum dosen datang. Ada Mujahid, yang lisannya tidak henti melafadzkan ayat-ayat suci Al qur’an, dan masih banyak contoh lainnya.

Keempat, amanah. Seperti kata Imam Al Ghazali, hal yang paling berat di dunia ini adalah amanah. Saya berusaha menjalankan amanah sebaik mungkin, meski kadang tumbang di tengah jalan. Sekali lagi, saya masih dan akan terus belajar. Saya belajar persoalan amanah ini dari ibu saya. Pagi hari ibu saya memasak, kemudian lanjut mengajar di pondok hingga siang, lalu rapat hingga sore, malam masih harus menjaga belajar malam, lanjut dengan checking keliling asrama. Kalau tidak ada jadwal jaga belajar malam, ibu saya mengerjakan tugas-tugas, seperti membuat soal, membuat sistematika pembelajaran, menilai hasil pekerjaan santri, dan lain sebagainya. Katanya, menjadi ibu adalah pekerjaan yang tidak pernah selesai. Amanahnya banyak dan besar sekali. Saya sering merasa berdosa ketika lelah dengan amanah. Terbayang ibu saya yang amanahnya jauh lebih banyak dan besar dibanding saya. 
Saya juga belajar persoalan amanah dari teman saya, Ulfah Choirunnisa. Ulfah jarang sakit dan izin agenda asrama. Ia paham betul konsep amanah menjadi peserta Rumah Kepemimpinan. Aku tahu dia pasti sebenarnya lelah. Tapi Ulfah tidak sedikit-sedikit sakit, tidak sedikit-sedikit mengeluh, tidak sedikit-sedikit alasan ini itu. Ulfah cukup imut (re:kecil), tapi raga dan jiwanya kuat, tidak rapuh. Saya belajar banyak dari dia. 

Kelima, pengetahuan yang luas dan komprehensif. Saya sungguh masih belajar. Saya sedih ketika IP turun bukan karena akan ditegur orang tua. Saya sedih ketika IP saya turun karena itu artinya saya belum bisa menjadi agen muslim yang baik sebab pemahaman saya terhadap bidang yang saya pilih tidak matang dan mendalam. Soal ini, saya belajar banyak dari Mas Isnan. Bacaannya banyak, pengetahuannya luas, dan ketika ditanya jawabannya sangat jelas, disertai dengan sumber buku yang pernah ia pelajari. Jangan ditanya IP, sebab Mas Isnan adalah lulusan terbaik di fakultasnya saat S1 dulu.

Lalu pertanyaanya sekarang adalah, apakah itu mudah? Tidak.
Sulit? Sangat. Sangat sulit.
Tapi bukan berarti tidak bisa.

Di sinilah the power of and itu muncul. Kita mestinya tidak lagi membandingkan kebaikan dengan kebaikan. Kalau sama-sama baik, kenapa tidak dilakukan dua-duanya? Ada syaratnya memang. Berani berjuang lebih keras dan berkorban lebih banyak.

Memang tidak ada yang sempurna. Sebab, tugas kita memang bukan untuk itu. Tugas kita adalah berusaha semaksimal mungkin menjadi agen muslim yang baik.

Saya tidak selamanya mejadi anak RK, saya tidak selamanya menjadi anak pondok, pun tidak selamanya menjadi anak UGM. Tapi saya selamanya adalah muslim. Bukankah indah ketika melihat orang-orang muslim yang amalannya baik, penampilannya rapi, kepribadiannya hebat, akalnya cerdas, tindak tanduknya santun, kehadirannya menjadi kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya?
Bukankah indah ketika melihat orang-orang muslim yang amalannya baik, penampilannya rapi, kepribadiannya hebat, akalnya cerdas, tindak tanduknya santun, kehadirannya menjadi kedamaian bagi orang-orang di sekitarnya?
Jelas bukan perkara yang mudah, Pembaca. Oleh karena itulah melalui tulisan ini saya mengajak Pembaca bersama-sama dengan saya untuk terus berusaha menjadi agen muslim yang baik. Sebab menjadi agen muslim yang baik adalah pekerjaan yang terus butuh belajar dan tidak pernah berhenti.
 

Comments

  1. iii akhirnya aku tau sosok fahri sekeren itu :3

    Ada namaku lagi yey:3 makasi kakros imut yg hafalannya keren sedunia tapi uiciknya maksimal!

    ReplyDelete
  2. Ayo gek di adsense, biar entuk duit. 😁

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Catatan Rumah Kepemimpinan 15: Menjadi Pasangan Strategis, Kenapa Tidak?

Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!

Kisah Inspiratif 5 (Dekat-dekat dengan Orang Soleh dan Hebat)